"Hidup bagi saya sungguh berarti. Demikian pula kehidupan di sekeliling saya. Jika saya mengharapkan hidup saya dihormati, maka saya juga harus menghormati hidup makhluk lainnya. Namun etika di dunia Barat hanya menghormati hubungan di antara sesama manusia. Karena itu saya katakan etika Barat adalah etika yang terbatas. Yang kita perlukan adalah etika tak terbatas yang juga mencakup hubungan kita dengan binatang" (Albert Schweitzer, 1875-1965)

Minggu, 12 Juni 2016

Kerusakan Hutan Tropis Memicu Krisis Air



Penebangan hutan (deforestasi) berpengaruh besar pada curah hujan di wilayah tropis.
Hal ini terungkap dari hasil penelitian terbaru yang dilakukan oleh University of Leeds dan NERC Centre for Ecology & Hydrology yang dirilis Rabu (5/9).
Temuan baru ini mengungkap konsekuensi serius penebangan hutan terhadap kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan Amazon dan hutan Kongo.
Para peneliti menemukan, di wilayah tropis, udara yang melewati hutan yang lebat akan menghasilkan hujan setidaknya dua kali lebih banyak dibanding udara yang melewati wilayah dengan sedikit vegetasi (tumbuh-tumbuhan). Bahkan dalam beberapa kasus, keberadaan hutan-hutan tropis ini akan meningkatkan curah hujan di wilayah negara-negara lain yang letaknya ribuan kilometer jauhnya.
Dengan menggabungkan data di lapangan dan prediksi tingkat kerusakan hutan pada masa datang, para peneliti memerkirakan bahwa kerusakan hutan tropis akan mengurangi curah hujan di wilayah Amazon hingga seperlima (21%) pada saat musim kemarau tahun 2050. Penelitian ini telah diterbitkan pada hari yang sama di jurnal ilmiah “Nature”.
Dr Dominick Spracklen dari School of Earth and Environment, University of Leeds yang memimpin penelitian ini menyatakan terkejut mengetahui bahwa hutan menjaga curah hujan di lebih dari separuh wilayah tropis. “Kami menemukan bahwa hutan Amazon dan hutan Kongo menjaga curah hujan di wilayah sekitarnya – dan menjadi sumber air utama penduduk.”
“Penelitian kami juga menemukan bahwa penggundulan hutan di wilayah hutan Amazon dan Kongo bisa menimbulkan bencana (kekeringan) bagi penduduk yang tinggal di negara-negara di sekitarnya, yang berjarak ribuan kilometer jauhnya.”
Selama ratusan tahun, para peneliti terus berdebat tentang dampak pepohonan terhadap peningkatan curah hujan. Namun hampir semua peneliti sepakat bahwa tanaman atau pepohonan menjaga kelembapan udara melalui dedaunan melalui proses bernama “evapotranspiration”. Kuantitas dan cakupan geografis dari hujan yang dihasilkan oleh hutan skala besar belum terungkap hingga penelitian ini diterbitkan.
Para peneliti menggunakan data curah hujan dan vegetasi yang diambil dari pengamatan satelit milik NASA, bersama dengan model yang memrediksi pola aliran udara di atmosfer guna mengetahui dampak dari hutan tropis.
“Kami meneliti fenomena yang terjadi di udara pada masa lampau – dari mana udara itu berasal dan berapa banyak hutan yang dilewati,” ujar Dr Spracklen.
Guna memahami polanya secara detil, mereka meneliti perjalanan massa udara yang datang dari berbagai wilayah hutan, dan melihat berapa banyak dedaunan dan tanaman yang dilewati oleh udara selama 10 hari terakhir sebelum akhirnya terjadi hujan.
Hasilnya, semakin banyak vegetasi (tumbuh-tumbuhan) yang dilewati oleh udara, udara menjadi semakin lembab dan air hujan yang dihasilkan semakin banyak.
Penelitian yang didanai NERC ini menemukan bahwa hutan Amazon menjaga curah hujan di wilayah pertanian di sebelah utara Brasil. Sementara hutan Kongo meningkatkan curah hujan di wilayah selatan Afrika yang sangat tergantung pada air hujan untuk irigasi pertanian.
Tanpa hutan yang lestari, wilayah-wilayah ini akan menderita kekeringan yang akan berdampak besar bagi kehidupan petani. Gambaran yang sama juga bisa ditemukan di wilayah tropis yang lain termasuk di Indonesia.
Selanjutnya...

Proses Pembuatan Susu Sapi



Sebelum bisa menghasilkan susu, seekor sapi betina harus melahirkan dulu anak sapi atau yang disebut dengan pedet. Seekor sapi betina yang siap dikawinkan adalah yang berumur kurang lebih 455 hari atau satu tahun tiga bulan. Kehamilan sapi betina cukup lama yakni kurang lebih sekitar 280 hari atau atau sembilan bulan lebih dua minggu (tidak jauh beda dengan kehamilan manusia). 

Sapi betina tersebut mulai menghasilkan banyak susu setelah kurang lebih 35 hari atau lima minggu setelah melahirkan atau setelah anaknya dipisahkan dari induknya untuk proses penyapihan (proses pelepasan pedet agar tidak menyusu lagi kepada induknya). Susu sapi akan terus dihasilkan oleh sapi betina tersebut dalam kurun waktu kurang lebih 305 hari atau sepuluh bulan. Jika anak yang dilahirkan sapi jantan, maka akan dikirim ke rumah jagal untuk diambil dagingnya, tetapi jika anak yang dilahirkan sapi betina, maka akan bernasib sama seperti induknya.

Sapi betina tersebut harus dikawinkan lagi sehingga ketika susunya sudah mulai habis (dalam kurun waktu 305 hari), Selama proses kehamilannya sapi tersebut tetap diambil susunya selama 7 bulan, maka kurang lebih selama dua bulan sapi betina tersebut tidak memproduksi susu sebelum akhirnya melahirkan kembali. Begitulah kurang lebih proses susu sapi dihasilkan.

Persoalan hormon betina pada sapi hamil terangkat oleh riset Mr. Akio Sato, profesor kehormatan Kolese Kedokteran Yamanashi. Menurut Mr. Sato, ketika sapi hamil, kadar hormon betina (estrogen dan progestin) di darah naik dan hormon masuk ke susu. Hormon betina ini tak rusak karena panas sterilisasi (WH: UHT). Dengan kata lain, banyak susu di pasar mengandung cukup banyak hormon betina, jauh lebih banyak daripada susu dari sapi yang tidak hamil.

Apa pengaruhnya kelebihan hormon betina terhadap akal budi dan tubuh anak? Mr. Sato menunjukkan bahwa anak-anak yang lahir setelah Perang Dunia II adalah generasi pertama di Jepang yang diberi susu, bahkan sejak sebelum lahir (lewat ibu hamil) dan KEMAMPUAN REPRODUKSI mereka jauh lebih rendah. Malah ada masalah ketidaksuburan yang tak wajar, misalnya OLIGOSPERMIA (sperma kurang). Boleh jadi susu bukan satu-satunya penyebab persoalan itu, tapi tak bisa kita sangkal bahwa pola makan gaya Barat yang mencakup susu telah berdampak berupa menurunnya kesuburan.

Sebenarnya hidup sapi perah sangat berat sekali. Hidupnya hanya di dalam kandang yang berukuran kurang lebih 2 x 1.5 m. Tanpa disadari tiba-tiba dia hamil tanpa merasakan hubungan kawin dengan sapi jantan, ini dikarenakan kehamilan sapi bisa melalui proses suntik sperma. Susunya dua kali dalam sehari setiap harinya diambil oleh manusia untuk kepentingan manusia, yakni sebagai pendapatan bagi peternak yang rakus. Adapun ketika sapi perah tersebut sudah tua, maka sapi tersebut akan dikirim ke rumah jagal untuk diambil dagingnya.

Pernahkah anda menonton film "The Herd", kejam jika dilakukan kepada manusia! Apa bedanya dengan sapi perah? Pernah membayangkan sebuat peternakan yang berisi wanita yang dipelihara demi menghasilkan susu? Dalam film bergenre sci-fi ini, ASI menjadi bahan utama untuk produk krim kecantikan dan banyak lagi. Dengan permintaan yang cukup tinggi, peternakan 'perempuan' ini pun terus berproduksi. Para perempuan ini hidup dalam siklus yang menakutkan. Mereka hidup di kandang yang kotor, dipaksa hamil melalui inseminasi buatan dan memproduksi susu seumur hidupnya. Jika bayi yang lahir adalah laki-laki akan segera dibunuh. Bayi perempuan tak punya nasib yang lebih baik, mereka akan hidup menjadi seperti ibunya, yaitu hidup sebagai sapi perah belaka. Seorang wanita berhasil kabur dari tempat terkutuk ini, namun segera ia menemukan fakta hidup yang begitu mengerikan mengenai nasib teman-teman lainnya. Sungguh sebuah pemandangan yang mengerikan, melihat apa yang dirasakan oleh sapi perah ketika hidup mereka hanyalah untuk memenuhi komoditas konsumsi manusia yang tiada henti.
Selanjutnya...