Sebagai satu dari sekian kota metropolitan di Asia Tenggara, Jakarta terus bertumbuh ke atas tiap tahunnya. Pertumbuhan Ibukota berwujud pada makin beragamnya pembangunan gedung-gedung pencakar langit di setiap sudut Jakarta. Mulai dari yang berwujud hunian permukiman apartemen, hingga yang berbentuk hunian perkantoran. Tempat segala aktivitas ekonomi dipertaruhkan.
Namun, sadarkah Anda bahwa selain bertumbuh ke atas, perlahan kota Jakarta pun tenggelam semakin ke dasar tanah?
Beban jutaan ton dari bangunan gedung pencakar langir, infrastruktur masif, hingga perumahan elit iyang harus ditahan oleh struktur tanah di Jakarta semakin menunjam tanah ibukota. Ditambah pula oleh jutaan liter gas dan air tanah yang tersedot dari balik tanah ibukota.
Seperti yang dikutip dari laman Kompas.com yang menyebutkan fakta mengejutkan bahwa setiap tahunnya Kota super padat Jakarta mengalami bencana pergeseran tanah. Tanah di ibukota ambles atau mengalami penurunan dari posisi awalnya.
Data dari Dinas Perindustrian dan Energi di DKI menunjukkan bahwa sejak 2002 hingga 2010, wilayah Muara Baru di Jakarta Utara ambles sedalam 116 cm, atau satu meter lebih! Berturut-turut data menunjukkan penurunan tanah di Ibukota, Cengkareng Barat (ambles 65 cm); Kelapa Gading (ambles 47 cm); Thamrin (ambles 15 cm).
Kepala Dinas Perindustrian dan Energi DKI Jakarta, Yusuf Effendi seperti yang dikutip dari portal Kompas.com mengutarakan alasan mengapa tanah di Ibukota terus mengalami penurunan. Menurutnya ada empat faktor yang sangat mempengaruhi pergerakan tanah, yaitu penyedotan air tanah yang diluar batas kemampuan tanah, eksploitasi minyak dan gas, beban bangunan yang super berat, hingga konsolidasi alami lapisan tanah.
Beban berat bangunan mega besar yang terus menerus didirikan tiap harinya di ibukota menjadi penyebab utama amblesnya tanah di Ibukota. Daya dukung lingkungan ibukota mungkin sudah menyerah dengan pengrusakan dan keserakahan penduduk Ibukota sejak puluhan tahun Jakarta di cap sebagai pusat perdagangan dan perekonomian Indonesia.
Jutaan penduduk dari beragam provinsi di negeri tumpah ruah memadati tiap petak Ibukota, menyedot segala kekayaan lingkungan tanpa pernah berpikir untuk mengembalikannya lagi ke pada alam. Jutaan liter air tanah disedot oleh gedung-gedung menjulang, meninggalkan rongga besar di beberapa titik lokasi di Ibukota.
Akibatnya, bencana pergerakan tanah semakin mengancam. Risiko bencana banjir pun jelas meningkat, karena logikanya air akan mencari lokasi terendah. Apabila posisi tanah Jakarta sudah lebih rendah daripada air laut, maka risiko bencana banjir dahsyat sudah membayang di tiap jengkal Ibukota.
Kini, bencana Jakarta tenggelam memang sudah bukan lagi berbentuk ancaman palsu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar