"Hidup bagi saya sungguh berarti. Demikian pula kehidupan di sekeliling saya. Jika saya mengharapkan hidup saya dihormati, maka saya juga harus menghormati hidup makhluk lainnya. Namun etika di dunia Barat hanya menghormati hubungan di antara sesama manusia. Karena itu saya katakan etika Barat adalah etika yang terbatas. Yang kita perlukan adalah etika tak terbatas yang juga mencakup hubungan kita dengan binatang" (Albert Schweitzer, 1875-1965)

Sabtu, 23 April 2016

Foto Kekeringan di California (2011 dan 2014)

California yang merupakan salah satu "lumbung" dunia mengalami kekeringan yang sangat parah pada tahun 2014 yang menyebabkan penurunan stok makanan dunia dan harga makanan yang naik. Berikut adalah foto-foto sebelum dan sesudah terjadi kekeringan parah di California:

The Green Bridge passes over full water levels at a section of Lake Oroville near the Bidwell Marina 
(2011 dan 2014)

california drought before and after



The Enterprise Bridge passes over full water levels at a section of Lake Oroville
(2011 dan 2014)

california drought before and after



The Bidwell Marina at Lake Oroville
(2011 dan 2014)

california drought before and after

Selanjutnya...

Minggu, 17 April 2016

Ilmuwan: Spesies Laut Akan Musnah Secara Massal

Ilmuwan: Spesies Laut Akan Musnah Secara Massal

BANGKOK – Penelitian baru memperingatkan bahwa industri perikanan dan ekosistem laut menghadapi ancaman yang lebih parah dari yang diperkirakan sebelumnya akibat naiknya tingkat karbon dioksida, sehingga bisa memicu rusaknya rantai makanan laut global.
Setelah memeriksa data dari 632 eksperimen yang telah diterbitkan tentang perairan tropis dan kutub, dan berbagai ekosistem termasuk terumbu karang, hutan ganggang raksasa dan lautan terbuka, dua orang Profesor Australia menyimpulkan hanya sedikit spesies yang bisa menghindari dampak negatif sebagai akibat meningkatnya karbon dioksida.
Perkecualian ditemukan pada mikroorganisme, seperti plankton dan ganggang, yang diperkirakan tetap meningkat baik dalam segi jumlah maupun keragamannya.
Mikroorganisme menyediakan makanan bagi herbivora laut. Tapi keadaan rantai makanan menjadi buruk bagi karnivora yang menjadi dasar bagi industri perikanan.
“Hal ini akan menyebabkan kehidupan di laut mengalami kehancuran spesies mulai dari puncak rantai makanan hingga ke bawah,” kata Profesor Ivan Nagelkerken dari Laboratorium Ekologi Laut Selatan di Universitas Adelaide, Australia.
Penelitian ilmiah sebelumnya telah memperkirakan hancurnya cadangan ikan untuk keperluan perdagangan selama tiga puluh tahun mendatang.
Spesies laut musnah secara massal
“Tidak ada spesies yang bisa bertahan hidup sendiri di sebuah lingkungan yang tidak menyediakan makanan yang cukup. Dan dampak negatif ini semakin buruk dirasakan oleh jenis spesies yang berada di urutan atas rantai makanan,” kata Nagelkerken pada VOA.
Nagelkerken, bersama seorang ahli ekologi laut dari Unversitas Adelaide, Profesor Sean Connell, sampai pada kesimpulan yang jauh lebih buruk daripada yang mereka perkirakan ketika mereka baru memulai penelitian tentang dampak meningkatnya suhu laut dan pengasaman laut.
“Kami tidak menduga akan menemukan dampak negatif yang begitu besar pada sekian banyak spesies, terkait keragaman dan jumlah mereka," katanya.
Bahkan bila emisi karbon dioksida dihentikan, laut masih terus memanas dan akan menjadi asam selama beberapa waktu. Tapi ada beberapa hal yang bisa dilakukan manusia untuk menghindari bencana yang mengancam ini, menurut Nagelkerken.
“Kalau kita mengurangi pemicu stres pada para spesies ini, seperti polusi laut, eutrophication (proses di mana air menerima kelebihan gizi yang mestimulasi pertumbuhan tanaman yang berlebih) dan penangkapan ikan berlebih, kita sebenarnya bisa menunda terjadinya bencana ini. Jadi kita harus mengurangi pemicu stres pada spesies-spesies ini agar mereka, paling tidak, bisa memiliki kesempatan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan global,” ujarnya.
Pengasaman laut mempengaruhi iklim global
Karena laut memanas, beberapa spesies akan berenang ke wilayah yang lebih tinggi tapi peluang bertahan hidup spesies yang malas akan sangat terancam.
Analisa ini juga menunjukkan bahwa perairan yang lebih panas atau tingkat asamnya semakin meningkat, atau keduanya, membahayakan spesies yang membentuk habitat seperti batu karang, tiram dan kerang. Perubahan sekecil apapun pada kesehatan habitat mereka diperkirakan akan menimbulkan dampak luas bagi banyak jenis spesies yang hidup pada terumbu karang.
Penelitian itu juga memperkirakan pengasaman laut akan mengurangi gas dimethylsulfide (DMS) yang dihasilkan oleh plankton laut. DMS membantu meningkatkan awan yang mengatur suhu Bumi. Jadi, dengan semakin sedikit gas yang dihasilkan, artinya awan menjadi semakin sedikit dan dengan demikian, suhu Bumi menjadi semakin panas.
Hasil penelitian Universitas Adelaide ini diterbitkan hari Selasa, 13 Oktober di jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.
sumber: http://techno.okezone.com/read/2015/10/15/56/1232105/ilmuwan-spesies-laut-akan-musnah-secara-massal
Selanjutnya...

Senin, 11 April 2016

Perang Dunia III Diprediksi Dipicu Masalah Kekurangan Air

Perang Dunia III Diprediksi Dipicu Masalah Kekurangan Air

Meskipun bumi menyediakan banyak air, namun seringkali terjadi kekurangan air sebagaimana dihadapi oleh semua bangsa di dunia. Chiras (2009) menyebutkan bahwa kekurangan air disebabkan oleh tiga faktor yaitu: 
1) kebutuhan yang terus meningkat (rising demand), 
2) distribusi air tawar yang tidak merata (unequal distribution), dan 
3) pencemaran air yang semakin meningkat (increasing pollution). 

Sedangkan WBCSD (2005) mengidentifikasi empat penyebab kekurangan air yaitu: 
1) pengambilan air permukaan yang berlebihan, 
2) pengambilan air bawah tanah yang berlebihan, 
3) polusi air, dan 
4) pemakaian air yang tidak efisien. Kebutuhan air yang terus meningkat disebabkan antara lain oleh peningkatan populasi, pertumbuhan industri, dan peningkatan pertanian (Chiras, 2009, pg. 247). 

Bahkan di Swiss dan Eropa saat ini permintaan air tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pertanian, industri, dan rumah tangga saja tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan rekreasi, pembuatan salju artificial untuk kegiatan ski es, dan sebagainya (SNCF, 2008). Kebutuhan dan persediaan air telah menjadi perhatian negara-negara di seluruh dunia, terutama jika persediaan air tidak dapat memenuhi kebutuhan. Bahkan diperkirakan perang antar negara-negara di dunia di masa mendatang tidak untuk memperebutkan sumber daya minyak atau batas negara tetapi untuk memperebutkan akses ke sumber daya air bersih (Ghali 2005 dalam Samuel U. Ukata et.al. 2011). 

Pada dasarnya air merupakan sumber daya terbarukan, yang secara alami didaur ulang melalui siklus hidrologi. Namun sayangnya dalam proses pengembalian ke bumi seringkali air tidak dapat terdistribusi merata akibat kekurangan hujan di daerah-daerah tertentu (Chiras, 2009; Xing, Ma; et.al., 2008). Kurang dari 10 negara memiliki 60% dari persediaan air bersih seluruh dunia yaitu Brazil, Russia, China, Canada, Indonesia, U.S., India, Columbia dan Republik Demokratik Congo dan 40% sisanya tersebar di negara-negara lain (WBCSD, 2005). 

Persebaran persediaan air yang tidak merata yang diperburuk dengan adanya perubahan iklim, banjir, kekeringan, dan kecepatan pemakaian air yang lebih cepat daripada kecepatan penyediaan kembali air oleh siklus hidrologi menyebabkan lebih dari separuh bangsa-bangsa di dunia menderita kekurangan air (U.S. Geological Survey dalam wellcare® info on Water Conservation 2003; WBCSD, 2005; Chiras, 2009, pg. 247). 

Polusi air adalah perubahan fisik dan kimia air yang mempengaruhi organism. Polusi air di negara berkembang lebih banyak disebabkan oleh kotoran manusia dan binatang, organism pathogen dari kotoran, pestisida, limbah kegiatan pertanian dan penebangan kayu. Sedangkan di negara maju polusi air lebih banyak diakibatkan oleh gaya hidup dan kegiatan industri yang menghasilkan limbah bahan kimia beracun (Chiras, 2009, pg. 464). 

Pada aras rumah tangga polusi air dapat disebabkan oleh septic system yang sudah tua, bocor dan kelebihan muatan yang dapat menimbulkan kontaminasi nutrient dan bakteri di dekat sumur atau sumber air (wellcare® info on Water Conservation, 2003). Meningkatnya polusi air menimbulkan dampak pada kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Anderson et.al., 2007) dan bahkan dapat mengancam kehidupan manusia, sebagaimana yang terjadi di China di mana polusi air dan udara menjadi penyebab banyak kematian (Junfeng Zhang, et.al., 2010). 

Kekurangan air membawa dampak tidak hanya pada generasi sekarang namun juga pada generasi yang akan datang terutama di daerah yang rawan kekeringan. Pada dekade mendatang diperkirakan krisis air akan terus berlanjut, menjadi lebih parah, dan bahkan menimbulkan masalah lingkungan yang serius pada aras global jika tidak segera dilakukan upaya penghematan air (Callopin & Rijsberman 2000 dalam Bithas, 2008). 

Bithas (2008) menyatakan masalah kekurangan air bersih akan berakibat: 
a) peningkatan persaingan mengakses sumber daya air bersih, 
b) memperburuk defisit air di daerah yang mengalami kekeringan, 
c) degradasi ekosistem air, dan 
d) penurunan kualitas sumber daya air. 

Melihat seriusnya permasalahan kekurangan air, perlu diadakan kebijakan yang mengatur pemakaian sumber daya air di seluruh dunia dengan cara berkelanjutan (WFD, 2000; Kaïka, 2003 dalam Bithas 2008). Pemakaian air dengan cara berkelanjutan adalah pemakaian air untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi potensi akses terhadap air bersih oleh generasi mendatang (World Commission on Environment and Development, 1987 dalam Gleick 1998). 

DAFTAR PUSTAKA Anderson, Barbara A.; Romani, John H.; Phillips, Heston; Wentzel, Marie; Tlabela Kholadi; 2007, Exploring environmental perceptions, behaviors and awareness: water and water pollution in South Africa, Published online: 19 April 2007, Springer Science+Business Media, LLC 2007. 

Bithas, Kostas, 2008, The sustainable residential water use: Sustainability, efficiency and social equity. The European experience., Ecological Economics. 

Chiras, Daniel D., 2009, Environmental Science, 8th Edition, Sudbury, Massachusetts: Jones and Bartlett Publisher. 

Gleick, Peter H., 1998, Water in Crisis: Paths to Sustainable Water Use, Ecological Applications, 8(3), 1998, pp. 571–579, August 1998, The Ecological Society of America. 

Junfeng Zhang, Denise L Mauzerall, Tong Zhu, Song Liang, Majid Ezzati, Justin V Remais, 2010, Environmental health in China: progress towards clean air and safe water, www.thelancet.com Vol 375 March 27, 2010. 

Samuel U. Ukata, Egbai O. Ohon, Eric J. Ndik*, Ewa E. Eze and Uquetan U. Ibor, 2011, Cost Analysis of Domestic Water Consumption in Calabar Metropolis, Cross River State, Nigeria, J Hum Ecol, 36(3): 199-203. 

Swiss National Science Foundation (SNCF), 2008, Implementation Plan NRP 61 “Sustainable Water Management”. 

Wellcare® info on Water Conservation, September 2003. www.watersystemscouncil.org. 

World Business Council for Sustainable Development (2005), Facts and Trends of Water, www.wbcsd.org and www.earthprint.com. 

Xing, Ma; Jianchu, Xu;Jie, Qian, 2008, Water Resource Management in a Middle Mountain Watershed: A Case Study in Xizhuang, Yunnan, China, Mountain Research and Development; Aug-Nov 2008; 28, 3/4; ProQuest Agriculture Journals, pg. 286.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/purwanti_asih_anna_levi/perang-dunia-iii-diprediksi-dipicu-masalah-kekurangan-air_5517f396813311fb689de4e6
Selanjutnya...

Minggu, 10 April 2016

Kenaikan Pengungsi karena Perubahan Iklim


PBB melaporkan kenaikan jumlah pengungsi tertinggi karena perubahan iklim
Komisi Tinggi urusan Pengungsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHCR) memperingatkan bahwa bencana alam sehubungan dengan perubahan iklim dan menyusutnya sumber daya alam seperti air membuat penduduk di negara-negara berkembang terpaksa mengungsi. Dengan menyusutnya gletser di Pegunungan Rwenzori Uganda dan di pegunungan Himalaya Nepal; menguapnya danau-danau di Mali Chad, serta Ethiopia; dan erosi tanah karena penggundulan hutan di Haiti. Para pengungsi di seluruh dunia naik sebesar 3 juta orang. Jadi sangatlah mendesak bagi kita untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Nick Nuttall dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan, “Kami melihat di seluruh dunia, khususnya di negara-negara berkembang bahwa perubahan iklim telah menyebabkan penurunan kualitas lingkungan dan memburuknya sistem penopang kehidupan bagi jutaan orang.”
http://www.timesonline.co.uk/tol/news/environment/article4159923.ece

Greenpeace Memprediksi 125 juta Penduduk Asia Tenggara akan Kehilangan Rumah

Penelitian terakhir oleh Greenpeace menyimpulkan bahwa naiknya permukaan air laut, berkurangnya pasokan air, dan berubahnya musim hujan karena perubahan iklim dapat menyebabkan 125 juta penduduk Asia Tenggara kehilangan rumah dalam waktu dekat. Sebagai tambahan, Program Pembangunan PBB mencatat bahwa perubahan iklim akan sangat berpengaruh kepada negara-negara berkembang dan menyebabkan migrasi penduduk secara besar-besaran maupun meningkatnya wabah penyakit.
http://www.dailytimes.com.pk/default.asp?page=2008%5C03%5C31%5Cstory_31-3-2008_pg6_20

Perubahan Iklim dapat Membuat Satu Miliar Orang Menjadi Tuna Wisma
Pada hari Selasa, Institut Penelitian Kebijakan Publik menyelenggarakan konferensi di London mengenai masa depan pemanasan global bagi manusia. Komisi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) memperingatkan para ilmuwan dan politisi bahwa naiknya suhu udara, air laut, dan harga pangan digabungkan dengan berkurangnya air tawar, hasil panen, dan tanah subur bisa membawa malapetaka. Migrasi besar-besaran hingga satu miliar orang akan terpaksa dilakukan oleh mereka yang rumahnya terendam air, atau mereka yang tidak lagi memiliki makanan.
http://www.independent.co.uk/environment/climate-change/climate-change-could-force-1-billion-from-their-homes-by-2050-817223.html
Selanjutnya...

Selasa, 05 April 2016

Petani semakin terdesak perubahan iklim

Petani semakin terdesak perubahan iklim

Jakarta (ANTARA News) - Hamidin (65) hanya bisa tercenung memandangi hamparan air di sawah miliknya di Desa Pasir Jaya, Kabupaten Tangerang, Provinsi Banten, akhir Februari lalu.

Hujan semalaman yang mengguyur daerah itu membuat separuh sawahnya tergenang air. Padahal, sawahnya baru saja ditanami bibit.

Dia mengatakan kejadian seperti itu biasa terjadi, dan tanpa bisa diprediksi.

"Tergantung lama atau tidaknya hujan turun. Kalau hujan berhari-hari tanaman bisa mati," ujar Hamidin.

Pria yang mempunyai lima anak itu mengaku sudah bercocok tanam sejak muda. Dari penghasilannya sebagai petani, dia mampu membiayai sekolah kelima anaknya itu hingga sekolah menengah atas.

Dibandingkan sepuluh tahun lalu, dia mengaku terjadi perubahan yang mendasar pada cuaca. Sekarang dia sulit memperkirakan awal musim tanam yang tepat.

"Sawah di sini tadah hujan, jadi sangat bergantung pada cuaca," tuturnya.

Jika dulu petani bisa menanam padi kapan saja, karena pada musim kemarau pun masih ada hujan. Berbeda dengan kondisi saat ini, musim kemarau dan hujan semakin panjang.

"Kalau dulu, bisa panen tiga kali dalam setahun. Sekarang dua kali panen saja sudah bersyukur."

Hasil panen pun tidak sebanyak dulu. Untuk satu hektare hanya mendapat sekitar tiga ton gabah. 


Busuk
Nun jauh, di lereng Gunung Merapi tepatnya Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, petani cabai mengeluhkan hal yang senada. Cuaca buruk yang melanda sejak sebulan terakhir membuat mereka mengalami kerugian.

Tanaman cabai yang sedianya siap panen, layu dan buahnya rontok akibat guyuran air hujan. 

Petani cabai Joyo Panut hanya mengaku pasrah dengan kondisi tanamannya itu. Akar dan batang cabai banyak yang membusuk akibat terlalu banyak air.

"Petani melakukan berbagai upaya seperti memperbaiki saluran air. Selain itu, angin kencang juga mengakibatkan sebagian tanaman cabai rusak dan roboh."

Untuk mengantisipasinya, sebagian petani terpaksa menopang tanaman dengan bambu. Hal itu dilakukan agar tanaman tidak membusuk. 

Sebagian petani cabai terpaksa memanen lebih awal untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Hasil panen tersebut rata-rata merosot hingga sekitar 70 persen dibandingkan panen saat kondisi cuaca bagus. 

Padahal saat cuaca baik, biasanya dalam satu hektare biayanya mencapai Rp9 juta dan bisa menghasilkan enam hingga tujuh kwintal cabai. tercapainya ketahanan pangan nasional.


Siklus Hidrologi

Pakar lingkungan dari Universitas Riau Tengku Ariful Amri mengatakan cuaca ekstrem yang melanda Tanah Air karena dampak terhambatnya siklus hidrologi.

Sirkulasi air yang seharusnya tidak pernah berhenti dari atmosfer ke bumi dan kembali ke atmosfir melalui kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi kini tersendat sehingga terjadi penumpukan penguapan yang akhirnya menyebabkan kondisi ekstrem.

"Berbagai bentuk hidrologi di muka bumi pada saat ini sudah tidak memiliki pola yang beraturan. Hal itu dikarenakan terjadi kerusakan wilayah," kata Ariful. 

Ariful kegiatan perluasan kebun sawit maupun izin Hutan Tanaman Industri (HTI) merampas areal tangkapan air yang menyebabkan bencana hidrologis. 

Pemerintah hendaknya melakukan antisipasi jangka panjang, yakni dengan penghijauan kembali, atau menghidupkan lagi hutan-hutan yang telah dirusak atau beralih fungsi menjadi lahan perkebunan.

Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Rachmat Witoelar menyatakan cuaca ekstrem masih akan terjadi dalam beberapa tahun ke depan.

Untuk itu diperlukan kebijakan jangka panjang dalam menghadapi perubahan cuaca yang ekstrim itu.

Chalid Muhammad dari Institut Hijau Indonesia mengatakan cuaca ekstrem sebagai dampak perubahan iklim sudah dirasakan oleh Indonesia sejak lima tahun yang lalu.

"Perubahan iklim merupakan fakta yang terjadi di dunia, bukan hanya di Indonesia," jelas Chalid.

Cuaca semakin sulit diperkirakan sehingga membuat petani gagal panen, gagal tanam, sementara nelayan sulit untuk melaut.

"Akibatnya sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan kita, solusinya impor. Itu tidak sehat karena bergantung pada asing," cetus dia.

Indonesia, lanjut Chalid, harus mengambil peran dalam upaya mengurangi emisi dengan melakukan pembangunan rendah karbon, serta menyelamatkan hutan karena keinginan sendiri bukan karena uang. 

"Pemerintah juga harus meminta agar negara maju mengurangi emisinya, karena secara historis menyumbang emisi karbon paling banyak," tukas dia. 


Sekolah Lapang Iklim
Deputi Bidang Klimatologi BMKG Widada Sulistya mengajak para petani untuk melakukan upaya adaptasi perubahan iklim melalui Sekolah Lapang Iklim.

"Sekolah Lapang Iklim ada di 25 provinsi atau 44 sentra padi di Tanah Air," ujar Widada. 

Sekolah Lapangan Iklim adalah sekolah yang membantu petani dalam upaya adaptasi dengan memberikan informasi teknis pertanian, seperti peta, data hujan, besar temperatur dan perkiraan cuaca.

Nantinya, informasi teknis tersebut digunakan petani untuk mengambil keputusan, mulai dari kapan menanam dan tanaman apa yang ditanam.

Sekolah itu terdiri dari tiga tahap yakni pegawai dinas pertanian di daerah, kemudian dilanjutkan dari dinas pertanian ke penyuluh, selanjutnya penyuluh yang mengajari petani hingga panen.

"Di Bali sudah terbukti, petani yang mengikuti sekolah iklim mendapatkan 8,5 ton padi saat panen, sedangkan yang tidak mengikuti sekolah iklim hanya empat ton padi," terang Widada.

Selain mendapatkan hasil yang berlimpah, kecenderungan untuk gagal panen sangat kecil. Widada mengharapkan sekolah itu dapat membantu mensejahterakan petani Indonesia. 

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian Haryono menyebutkan kerugian akibat perubahan iklim mencapai puluhan milyar setiap tahunnya.

"Berbagai inovasi teknologi telah dikembangkan oleh berbagai instasi terkait. Di antaranya mengembangkan teknologi Biofertilizer dan BilPeat untuk meningkatkan produksi ketersediaan pangan," kata Haryono. 

Teknologi merupakan elemen penting dalam menghadapi iklim seperti saat ini, selain itu memberikan dukungan di bidang pertanian agar dapat


Ajak Generasi Muda

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Andi Eka Sakya mengatakan cuaca ekstrem yang penuh dengan ketidakpastian merupakan dampak dari perubahan iklim.

Sejumlah negara sudah merasakan dampaknya dan menimbulkan kerugian materil dan jiwa. Contoh pada Januari lalu, di Atlanta, Amerika Serikat, mengalami penurunan suhu hingga minus 50 derajat celsius, sedangkan di California terjadi kebakaran hutan.

Tapi di benua lainnya tepatnya di Inggris dan juga Indonesia terjadi banjir.

"Perubahan iklim bukan lagi hanya isu tapi benar-benar sudah dirasakan," kata Andi.

Salah satu fenomena iklim ekstrem yang berdampak sangat luas adalah kekeringan. Fenomena El Nino yang terjadi di lautan Fasifik telah diketahui sebagai penyebab terjadinya kekeringan ekstrim di sebagian besar belahan dunia termasuk Indonesia.

"Bahkan Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO yang merupakan aliansi puluhan negara mengatakan tantangan utama pada 2025 bukan perang, melainkan perubahan iklim," ujarnya.

Mengingat pentingnya pemahaman mengenai perubahan iklim, BMKG mengajak generasi muda untuk peduli dan mau mengubah pola hidup menjadi ramah lingkungan.

Pasalnya, seperenam dari penduduk Indonesia adalah kaum muda yang nantinya memegang peranan strategis pada masa yang akan datang.

"Perubahan iklim terjadi karena aktivitas yang kita sadari dan tidak disadari oleh kita ," cetus pria ramah itu. 


Jajaki PAUD

Deputi Bidang Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup Ilyas Asad menyebutkan mulai 2014, pihaknya memperluas pelaksanaan program Adiwiyata ke tingkat sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) agar menerapkan kegiatan pelestarian lingkungan.

"Selama ini hanya dilaksanakan pada tingkat SD, SMP dan SMA, namun mulai 2014 ini akan diperluas ke tingkat PAUD karena program ini sangat penting untuk memperkenalkan sejak dini pengetahuan dan kesadaran mengenai pelestarian lingkungan kepada anak didik," kata Deputi.

Pelaksanaan program Adiwiyata di tingkat SD, SMP dan SMA dinilai berhasil, ditandai dengan semakin banyaknya sekolah yang menciptakan lingkungan sekolahnya bersih, hijau dan asri.

Masyarakat di sekolah bersangkutan juga semakin sadar dalam melakukan berbagai kegiatan yang dapat mendukung pelestarian lingkungan, baik berupa penanaman pohon dan tanaman hias di lingkungan masing-masing maupun dalam penanggganan sampah serta upaya menghemat energi.

Kemen LH setiap tahunnya membina 2.000 lebih sekolah di seluruh Indonesia pada program Adiwiyata tersebut, namun yang mampu mencapai sesuai kriteria yang ditetapkan hanya 410 sekolah dan yang bisa mendapatkan penghargaan sekolah Adiwiyata tingkat nasional hanya 100 sekolah lebih.

"Melalui program ini, diharapkan kecintaan terhadap lingkungan bisa ditanamkan sejak dini," kata Ilyas.
(I025/A013)
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2014
Selanjutnya...