"Hidup bagi saya sungguh berarti. Demikian pula kehidupan di sekeliling saya. Jika saya mengharapkan hidup saya dihormati, maka saya juga harus menghormati hidup makhluk lainnya. Namun etika di dunia Barat hanya menghormati hubungan di antara sesama manusia. Karena itu saya katakan etika Barat adalah etika yang terbatas. Yang kita perlukan adalah etika tak terbatas yang juga mencakup hubungan kita dengan binatang" (Albert Schweitzer, 1875-1965)

Senin, 29 Desember 2014

Krisis pangan, akankah terjadi?

Pangan adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar. Tanpa makanan, mustahil manusia dapat hidup. Ada kekhawatiran pada suatu saat mendatang dunia ini akan terjadi krisis pangan. Benarkah demikian? Lalu faktor-faktor apa sajakah yang bisa menyulut terjadinya krisis pangan?
Krisis pangan – menurut hemat saya – terjadi bila harga kebutuhan pangan melambung tinggi sehingga tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat, atau memang terjadi kelangkaan pangan karena sebab-sebab tertentu. Keduanya mempunyai hubungan sebab akibat, dengan banyak faktor yang mempengaruhinya. faktor-faktor tersebut antara lain pengaruh global warming, ketersediaan air untuk irigasi, ketersediaan energi, ketersediaan lahan dan pengolah lahan, populasi penduduk dan regulasi dibidang pertanian.
Global Warming. Ada sementara orang berpendapat bahwa meningkatnya suhu permukaan bumi yang berarti menghangatnya udara karena pengaruh global warming akan meningkatkan produksi pertanian. Logikanya adalah, global warming terjadi karena meningkatnya gas-gas rumah kaca, diantaranya CO2. Nah, CO2 ini adalah zat penyubur tanah dan tanaman!!
Pendapat ini sebenarnya kurang tepat. Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan suhu sebesar 1C akan menurunkan hasil panen pertanian sebesar rata-rata 10%! Disamping itu menghangatnya suhu udara jelas akan meningkatkan aktifitas hama dan penyakit tanaman, baik dalam intensitas serangan maupun jenisnya. Kita sering membaca di Koran, di internet atau melihat di tv serangan hama-hama tanaman yang kian mengganas. Wereng, kutu putih, penggeret batang adalah 3 dari ribuan jenis hama tanaman yang hidup subur diudara hangat yang menghantui para petani.
Pemanasan global juga berdampak pada perubahan iklim, dan perubahan iklim yang ekstrim mengakibatkan adanya cuaca buruk, kemarau panjang, banjir, angin ribut, yang semuanya itu berakibat buruk bagi pertanian. Lihat di situswww.tempointeraktif.com. Kekeringan yang melanda beberapa provinsi baru-baru ini mengakibatkan ribuan hektar padi mati kekeringan (berita tanggal 17 Sept.2008). Dan banyak lagi berita-berita bencana kekeringan dan banjir yang melanda lahan pertanian kita.
Ketersediaan air. Kebutuhan air untuk pertanian/perkebunan umumnya diperoleh dari 3 cara, yaitu air sungai yang dialirkan lewat saluran irigasi, air tanah yang disedot dengan pompa air dan air hujan. Kelangkaan air sering dihubungkan dengan pengaruh global warming, karena meningkatnya suhu permukaan bumi akan mempercepat penguapan air permukaan – air sungai dan air di saluran irigasi – serta air tanah yang digunakan untuk mengairi lahan pertanian. Global warming – seperti yang disebutkan diatas – juga sering mengakibatkan cuaca menjadi ekstrim, artinya musim kemarau akan semakin kering, dan musim hujan sering terjadi bencana alam seperti banjir, angin ribut dan sebagainya. Kalau hujan? Bukankah air hujan bisa digunakan untuk mengairi lahan pertanian ? Sayangnya pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar. Hutan-hutan dihulu dan dibantaran sungai ditebang habis sehingga kemampuan tanahnya untuk mengikat air semakin kecil. Dengan demikian hujan deras justru bisa mengakibatkan banker banding yang merusak lahan pertanian, hujan normal airnya hanya bisa dimanfaatkan sesaat, sesudah itu hilang entah kemana.
Ketersediaan energi dan bbm. Pertanian – yang istilah kerennya agriculture – sudah sejak lama menjadi industri modern. Konsekuensinya, industrialisasi pertanian menuntut modernisasi pada alat-alat pertanian, modernisasi cara pendistribusian dan modernisasi di bidang pemasarannya. Kalau dulu untuk mengolah lahan persawahan cukup dengan kerbau untuk membajak, tapi sekarang dengan traktor. Kalau dulu dalam memanen padi dengan sistim gebyok, kemudian untuk menghasilkan beras bulir padinya dimasukkan kedalam “lesung” dan di “tutu” (dipukul-pukul) dengan alu (hayo remaja sekarang nggak tau yang namanya lesung dan alu/antan kan?), tapi sekarang, memanennya dengan mesin, kemudian gabahnya dibawa ke “rice-mill”, masuk mesin, keluar sudah menjadi beras. Kalau dulu membawa sayur mayur cukup dipikul, atau dibawa dengan gerobak yang ditarik lembu, atau paling banter dibawa dengan mobil pick up atau truk, sekarang tidak cukup hanya dengan truk, tapi truknya juga dipasangi pendingin supaya sayuran tetap segar. Kalau dulu hasil panenan cukup dibawa ke pasar tradisional, tapi sekarang dipasok ke supermarket atau mal, dan seterusnya.
Apa akibatnya? Dibutuhkan bahan bakar minyak (bbm) untuk menggerakan traktor, huller, mesin pengolah jagung, singkong, kentang dan sebagainya yang digunakan atas nama industrialisasi. Dibutuhkan bbm ekstra untuk menyalakan mesin pendingin yang dipasang di kendaraan pengangkut. Dibutuhkan energi listrik – yang pada akhirnya bbm – ekstra untuk penerangan di mal-mal, freezer untuk mengawetkan daging, ikan dsb, pendingin untuk menyegarkan sayur mayor dan seterusnya. Muaranya ya pada peningkatan penggunaan bbm. Jika bbm naik ? Otomatis pangan ikut naik, bahkan kadang-kadang lebih tinggi persentase kenaikkannya daripada kenaikan bbm sendiri. Jika bbm turun? Mana sih ada sejarahnya bbm turun kecuali untuk kepentingan politik tertentu? Trus gimana kalau bbm habis ? Nah, kalau yang ini lebih gawat lagi. Bbm termasuk bahan bakar fosil yang tak terbarukan, dan pada suatu saat pasti akan habis apalagi dengan eksploitasi super rakus seperti sekarang ini. Coba lihat di situs www.detikfinance.com : cadangan minyak di Indonesia tinggal 10 tahun lagi. Atau di www.bisniskeuangan.kompas.com : cadangan minyak dunia tinggal 42 tahun lagi. Jelas hal ini harus menjadi bahan pemikiran kita semua, karena pengaruhnya kepada ketersediaan pangan sangat besar. Harus ada upaya yang sistematis untuk mencari sumber-sumber energi alternatif yang menasional atau bahkan mendunia, seperti energi matahari, biofuel, energi angina dan lain sebagainya.
Ketersediaan lahan. Tanah adalah prasyarat utama dimana tanaman dapat tumbuh. Hasil pertanian seharusnya merupakan fungsi linear terhadap ketersediaan tanah, artinya jika tanah yang digarap semakin luas maka hasil yang diperoleh seharusnya semakin banyak. Celakanya, untuk mempertahankan fungsi linear ini banyak sekali variabel-variabel yang mempengaruhinya seperti air/irigasi, variabel yang bersifat “force majeur” misalnya banjir dan kekeringan, serta kesehatan/kesuburan tanah itu sendiri. Dua variabel pertama sudah saya bahas pada bagian 1, jadi sekarang saya akan fokus pada kesuburan/kesehatan tanah.
Tanah yang subur adalah tanah yang kaya akan organisme-organisme yang secara langsung maupun tidak, dapat menyuburkan tanah. Organisme-organisme ini terdapat pada lapisan teratas tanah, menggemburkan, memberi pori-pori, memberi kemampuan untuk mengikat oksigen dan zat penyubur tanaman. Dan satu lagi, tanah berhumus ini mampu “menangkap” air sehingga tetap menjaga kelembaban tanah, prasyarat untuk tanaman tumbuh subur. Pada kenyataannya tanah semacam ini amat jarang kita jumpai lagi. Banjir yang menerjang bertubi-tubi menggerus lapisan atas tanah tersebut, atau kekeringan berkepanjangan mengakibatkan tanah atas hilang tersapu angin.
Disisi lain proses penyuburan tanah secara “alami” tersebut memakan waktu yang panjang. Petani dan pengolah lahan tidak sabar. Maka sejak puluhan tahun yang lalu para petani akrab menggunakan pupuk dan pestisida kimia sebagai cara instant menyuburkan tanaman dan memberantas hama tanaman. Dan celakanya lagi, pemerintah justru mendorong penggunaan jor-joran pupuk kimia tersebut dengan memberi subsidi, mendirikan pabrik pupuk dipelbagai kota. Apa akibatnya ? Ibarat seorang atlet yang menggunakan steroid, berjaya diwaktu muda loyo setelah tua. Begitu juga dengan tanah. Penggunaan pupuk kimia secara berlebihan membuat tanah menjadi keras meranggas, kemampuannya mengikat co2 jauh berkurang sehingga banyak yang sebenarnya tidak layak untuk menjadi lahan pertanian yang produktif.
Cerita yang lebih mengenaskan lagi adalah nasib lahan-lahan produktif yang terletak dipinggiran kota. Euforia pembangunan membuat lahan pertanian yang masih produktif berubah fungsi menjadi real estate, gedung perkantoran dan kawasan industri, mengakibatkan tanah pertanian menjadi semakin sempit. Kemudian para petani yang masih setia pada pekerjaannya membuka lahan-lahan baru – yang sebagian berupa pembabatan/pembakaran hutan – sehingga menimbulkan masalah-masalah baru seperti yang telah kita ketahui bersama. Jangka pendeknya, biaya produksi pasti bertambah tinggi seiring dengan mahalnya transportasi dari dan ke lahan pertanian mereka, dibanding jika mereka masih tetap menggarap lahan dipinggiran kota. Disisi lain para “cukong” agroculture dengan industri modernnya pun ikut membuka lahan-lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit dan perkebunan lainnya, juga dengan membabati/membakar hutan industri dan hutan primer. Akibatnya, perluasan lahan pertanian/perkebunan berdampak “sistemik” (mengambil istilah kebangkrutan bank century, gitu) terhadap ketahanan pangan dimasa datang.
Pengolah Lahan. Siapa pengolah lahan pertanian ? Ya petani. Dulu, menjadi petani adalah profesi yang membanggakan. Tapi generasi sekarang membayangkan juga enggak kalau kelak mereka menjadi petani. Bahkan bapak petanipun rasanya tidak rela kalau anaknya kelak meneruskan profesinya. Sebagian besar dari mereka justru menyekolahkan anaknya bukan pada jurusan yang ada hubungannya dengan pertanian.
Profesi petani ini pada masa mendatang bisa menjadi salah satu faktor terjadinya krisis pangan karena jumlahnya semakin lama semakin menyusut, atau tidak sebanding dengan penambahan jumlah penduduk (rasio petani dibandingkan dengan total jumlah penduduk). Hal ini diakibatkan oleh berbagai sebab :
  • Banyak petani yang mempunyai lahan kecil menjual lahan mereka kepada petani yang lebih besar, atau kepada developer/pengembang perumahan dan kawasan industri. Mereka sekarang justru “bekerja” kepada petani yang lebih besar, atau mencari nafkah diluar bidang pertanian.
  • Profesi petani oleh sebagian masyarakat dianggap bukan profesi yang menjanjikan dimasa depan. Para bapak/ibu petani lebih senang jika anaknya menjadi pegawai kantor, atau bekerja pada bidang non-pertanian sehingga mereka menyekolahkan anak2nya pada jurusan bukan pertanian.
  • Industri pertanian/perkebunan dalam skala besar sering menggilas eksistensi petani tradisional baik dari segi produktifitas maupun pemasaran.
Degradasi tanah, penggunaan pupuk dan pestisida kimia, kurang menariknya menjadi petani, dimasa mendatang bisa mengancam ketersediaan pangan.
Berbicara tentang pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap ketersediaan pangan, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, pertambahan penduduknya sendiri, dan kedua, tingkat konsumtif akibat peningkatan kesejahteraan masyarakat,
Pertumbuhan pendudukPertama, kalau berbicara tentang pertambahan penduduk, saya jadi teringat satu teori sewaktu kuliah ekonomi dulu. Malthus – seorang pendeta – mengemukakan teori bahwa pertumbuhan penduduk disuatu Negara akan meningkat cepat seperti deret ukur pelipatgandaan ( 1,2,4,8,16,32 ….. dst), sedangkan pertumbuhan pangan – karena keterbatasan tanah pertanian – hanya akan bertambah seperti deret hitung (1,2,3,4,5,6….dst). Arti sederhananya begini. Jika 1 orang membutuhkan 1 kg beras, maka untuk pertumbuhan penduduk sebanyak 32 orang, pada periode yang sama beras hanya tersedia sebanyak 6 kg dari yang seharusnya 32 kg. Atau dengan perkataan lain, pada periode itu 1 orang hanya mendapat jatah beras 2 ons dari yang seharusnya 1 kg!
Teori Malthus ini mungkin sedikit “berlebihan” mengingat banyak asumsi-asumsi yang tidak diperhitungkan atau belum terpikirkan pada waktu itu, seperti teknologi dan pengendalian jumlah penduduk. Pada kenyataannya sekarang, walaupun benar luas tanah terbatas, tapi kemajuan teknologi telah berhasil melipatgandakan produktifitastanaman pangan setiap hektar tanah. Dan program pengendalian jumlah kelahiran – keluarga berencana kalau di Indonesia – pun telah berhasil mengerem pertumbuhan penduduk.
Tapi boleh jadi teori Malthus ini bisa menjadi kenyataan dimasa mendatang mengingat :
  • Tidak semua negara, terutama negara dunia ketiga menerapkan sistem keluarga berencana seperti Indonesia, jadi ledakan penduduk dunia masih mungkin terjadi. Dan yang perlu diingat, krisis pangan adalah masalah global, bukan hanya masalah negara per negara.
  • Tanah-tanah produktif untuk pertanian menyusut secara drastis dari waktu ke waktu, entah karena beralih fungsi menjadi kawasan industri dan perumahan, maupun karena banyak tanah tidak produktif lagi karena sebab-sebab tertentu seperti penggunaan pestisida dan pupuk kimia, bencana kekeringan, erosi lapisan tanah bagian atas karena banjir, angin dan sebagainya. Tulisan saya pada bagian ke 2 mengibaratkan tanah seperti atlit yang mengkonsumsi steroid. Rangsangan yang berlebihan akan mengakibatkan si atlit menjadi “layu” dimasa tuanya. Begitu juga dengan tanah.
  • Menipisnya bahan bakar fosil mengakibatkan pemerintah dan banyak perusahaan2 raksasa melirik pertanian sebagai usaha mencari bahan bakar alternatif, atau yang disebut dengan biofuel atau bioenergi. Kita bisa melihat perkebunan kelapa sawit yang menelan tanah subur jutaan hektar, dari semula digunakan sebagai bahan baku minyak kelapa sawit kini sebagian panenannya digunakan untuk membuat energi nabati. Kalau di Indonesia gencar digalakkan menanam pohon jarak untuk bahan baku energi alternatif, di Amerika, ladang-ladang jagung diperluas untuk memenuhi kebutuhan bahan baku energi yang sama.
Kedua, adalah masalah gaya hidup. Jika suatu negara berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakatnya, maka ada kecenderungan dari penduduknya untuk menganggap makan sebagai bagian dari gaya hidup, bukan lagi melulu sebagai kebutuhan pokok faali. Kita lihat saja di negara kita. Program keluarga berencana – terutama di era orde baru, kalau era reformasi sekarang ini sepertinya mlempem ya – sangat berhasil mengendalikan jumlah penduduk. Logikanya, jika jumlah penduduk terkendali, maka akan lebih mudah untuk mensejahterakan mereka. Dan memang demikian adanya. Ditambah dengan keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi, maka sebagian rakyat Indonesia bertambah sejahtera. Golongan menengah keatas (kaya sampai kaya raya), golongan menengah (berada) dan golongan menengah kebawah (cukupan) bertambah banyak. Akibatnya seperti yang saya sebut diatas. Makan – oleh golongan golongan ini – menjadi bagian dari gaya hidup. Bak gayung bersambut, muncullah puluhan gerai-gerai makanan specialist baik yang lokal maupun import seperti fried chicken, donat, pizza dan lain sebagainya.
Saya sebenarnya tidak mempersoalkan kemunculan gerai-gerai tersebut. Justru yang saya khawatirkan adalah, apakah dalam jangka panjang harga yang dibandrol tidak mempengaruhi kegiatan ekonomi keluarga secara keseluruhan ? Bayangkan, sepiring nasi dibandrol sekitar 4000 – 5000 rupiah dan sepotong ayam goreng 10.000 rupiah, padahal di warung makan biasa harga sepiring nasi paling mahal 2000 rupiah dan sepotong ayam goreng masih bisa dijual dengan harga 4000 rupiah. Dampaknya ? Jelas ada seperti :
  • Selisih harga seperti diatas jelas merupakan keuntungan minimal, yang sebagian diperhitungkan dengan sewa tempat dan biaya operasional, sedangkan sisa keuntungan dibawa kenegara asal kalau siempunya orang asing, atau untuk membayar lisensi/franchise untuk pemilik lokal (uang franchise ini juga hengkang kenegara asal kan?).
  • Berpengaruh pada harga pangan khususnya beras. Sekarang disuper market Anda gampang menjumpai beras yang harga perkantungnya (10kg) 80.000 rupiah, bahkan ada yang 125.000 rupiah, karena kata labelnya beras tersebut asli dari Thailand, atau beras organik, atau beras khusus penderita diabet, beras super dan sebagainya. Bandingkan dengan harga beras IR (lokal) yang hanya 5500/kg.
  • Kebiasaan makan digerai-gerai semacam itu jelas menambah beban keuangan keluarga, yang seharusnya dapat digunakan untuk keperluan lain yang lebih penting.
Pertumbuhan penduduk dan gaya hidup rakyat yang sejahtera secara nyata memang belum terlihat berdampak pada ancaman krisis pangan, karena pemerintah pada umumnya masih mampu melakukan rekayasa teknologi untuk meningkatkan produktifitas pertanian dan pengendalian penduduk. Tapi bukan tidak mungkin dalam masa mendatang terjadi ledakan penduduk yang menyebabkan krisis pangan secara global.
RangkumanPengaruh global warning sungguh luar biasa. Suhu yang menghangat mengakibatkan es dan gletser lebih cepat mencair sehingga di beberapa tempat cadangan air minum maupun air untuk keperluan irigasi pertanian terancam lebih cepat habis. Suhu yang lebih hangat juga mempercepat penguapan air tanah, air sungai dan danau. Tanah terancam kering dan tandus karena tidak ada air untuk membasahi, dan akibatnya, hasil panen ikut terancam turun. Suhu yang lebih hangat dari sebelumnya menjadi surga bagi berkembangbiaknya penyakit dan hama tanaman, yang celakanya banyak yang bermutasi karena serangan gencar penggunaan pestisida, sehingga kemungkinan gagal panen semakin tinggi. Pemanasan global juga mengakibatkan perubahan iklim. Iklim yang ekstrim lebih sering terjadi. Panas yang lebih terik atau banjir yang melumatkan ratusan bahkan ribuan hektar tanaman pertanian menjadi lebih sering kita dengar dan alami.
Industrialisasi pertanian – seperti pada umumnya sebuah industri – berbasis pada efisiensi dan teknologi. Efisiensi pada dasarnya adalah mencapai hasil yang maksimal dengan menggunakan sumber daya seminimal mungkin. Maka di bidang pertanian ini banyak pekerjaan manusia yang diganti oleh mesin. Membajak, memanen, mengolah, mengangkut, menyimpan dan sebagainya, semuanya dikerjakan oleh mesin. Akibatnya dibutuhkan bahan bakar minyak lebih besar untuk menggerakkan mesin mesin dan mengangkut hasil panen. Dibutuhkan energi listrik lebih besar untuk mesin pengawet dan pendingin. Akibat lebih jauh, ada hubungan yang sensitif antara hasil pertanian dan bahan bakar minyak yang celakanya cadangannya semakin menipis. Dengan demikian kenaikan harga bbm secara otomatis akan menaikkan harga hasil pertanian yang pada suatu saat bisa mencekik leher sebagian besar masyarakat.
Tanah produktif yang digunakan untuk pertanian semakin lama kian menyempit karena alih fungsi tanah pertanian menjadi real estate ataupun kawasan industri atau peruntukan lainnya. Pembukaan lahan baru pasti tidak akan seimbang dengan alih fungsi ini, karena pembukaan lahan baru berarti perambahan hutan menjadi tanah pertanian, suatu hal yang harus dipikirkan sungguh2 dampaknya. Disisi lain, tanah yang masih produktif digenjot dengan pupuk kimia, yang dalam jangka panjang menurunkan kemampuan tanah untuk mengikat co2, zat penyubur tanah sehingga suatu saat nanti tanah menjadi kering dan tidak dapat ditanami lagi.
Pengolah tanahpun (baca : petani) sulit untuk regenerasi. Beberapa tahun mendatang jika petani-petani sekarang sudah tua dan tidak mampu bekerja disawah lagi, siapa penggantinya ? Kalau suatu saat saya berkesempatan mengadakan survey di SMU-SMU dan memberi pertanyaan begini : siapa yang bercita-cita menjadi petani ? Saya jamin sangat jarang anak-anak muda jaman sekarang yang ingin menjadi petani. Lalu kalau tidak ada petani, siapa yang mengolah lahan pertanian ?
Pertumbuhan penduduk berarti bertambah pula mulut manusia yang harus diberi makan. Pertumbuhan yang tak terkendali pasti mengundang bencana karena krisis pangan adalah masalah global, masalah dunia. Akankah pemikiran Malthus terbukti ? Wah amit-amit!!
Sumber: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar