"Hidup bagi saya sungguh berarti. Demikian pula kehidupan di sekeliling saya. Jika saya mengharapkan hidup saya dihormati, maka saya juga harus menghormati hidup makhluk lainnya. Namun etika di dunia Barat hanya menghormati hubungan di antara sesama manusia. Karena itu saya katakan etika Barat adalah etika yang terbatas. Yang kita perlukan adalah etika tak terbatas yang juga mencakup hubungan kita dengan binatang" (Albert Schweitzer, 1875-1965)

Minggu, 18 Januari 2015

GREEN HOUSE EFFECT (EFEK RUMAH KACA)




This graph, based on the comparison of atmospheric samples contained in ice cores and more recent direct  measurements, provides evidence that atmospheric CO<sub>2</sub> has increased  since the Industrial Revolution.  (Source: [[LINK||http://www.ncdc.noaa.gov/paleo/icecore/||NOAA]])

Istilah efek rumah kaca digunakan untuk menjelaskan proses dimana atmosfer dipanasi.

Kita tahu bahwa sekitar 50% dari radiasi matahari datang menembus atmosfer dan diserap permukaan Bumi. Karena permukaan Bumi jauh lebih dingin daripada Matahari, dia mengemisikan radiasi dengan panjang gelombang yang lebih panjang. Banyak radiasi gelombang panjang dari Bumi diserap oleh gas2 tertentu di atmosfer. Gas2 utama yang menyerap panas di atmosfer adalah karbon dioksida dan uap air.

Karbon Dioksida, CO2 : Gas ini membentuk sekitar 0.038% (380 ppm) udara kering.

Uap Air, H2O : Kandungan Uap Air di setiap volume udara bervariasi dari 0% hingga 4%.

Setelah uap air dan karbon dioksida menyerap radiasi Bumi, mereka meradiasikan kembali energi tersebut menjauh ke segala arah. Sebagian ke arah langit dimana dia bisa diserap lagi oleh atmosfer. Sebagian dari energi yang menuju ke Bumi, diserap oleh molekul gas lain dan permukaan. Permukaan Bumi secara terus menerus disuplai dengan energi yang diemisikan oleh atmosfer maupun oleh outgoing radiasi matahari. Dalam hal ini, atmosfer dipanasi karena dia “menangkap” sebagian outgoing radiasi Bumi.

Tanpa gas yang bersifat menyerap di atmosfer kita, planet kita akan mengalami suhu permukaan rata2 jauh dibawah titik beku dan Bumi tidak akan memberikan lingkungan yang cocok bagi manusia dan bentuk kehidupan yang lain. Suhu permukaan Bumi rata2 adalah 30 C (50 F) lebih panas daripada yang akan terjadi  tanpa atmosfer. Bumi tidak akan dapat mendukung lingkungan yang cocok untuk manusia dan bentuk-bentuk kehidupan yang lain. Proses yang sangat penting ini dinamakan efek rumah kaca karena diperkirakan bahwa rumahkaca dipanasi dengan cara yang sama. Uap air dan CO2 berperan seperti kaca di dalam rumahkaca, dengan membiarkan radiasi matahari masuk tetapi menghalangi panjang gelombang yang lebih panjang untuk keluar.

Secara ringkas, efek rumahkaca bekerja dengan cara ini: karena gas2 penyerap selektif, atmosfer mentransmisikan hampir semua radiasi matahari yang datang ke permukaan Bumi, dimana dia diserap. Udara dipanasi ketika uap air dan karbon dioksida menyerap radiasi gelombang panjang yang diemisikan Bumi.
Efek rumah kaca berkaitan dengan isu lingkungan global yang sangat kompleks dan penting yaitu pemanasan global.

Karena karbon dioksida adalah gas penyerap panas yang penting, maka setiap perubahan dalam kandungan karbon dioksida di udara dapat mengubah suhu di atmosfer bagian bawah. Perbandingan karbon dioksida di atmosfer telah nyata secara terus-menerus naik selama lebih dari 200 tahun. Aktivitas manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil (batubara, minyak, dan gas alam) telah menyebabkan karbon dioksida meningkat lebih dari 30 % sejak 1750, dan dia tetap naik. 

Konsentrasi karbon dioksida di atmosfer sangat melampaui apapun yang dialami selama lebih dari 650,000 tahun terakhir seperti yang ditentukan dari penelitian inti es. Yang mengkhawatirkan adalah bahwa suhu global naik dengan nyata karena meningkatnya efek rumahkaca.

CO2 bukanlah gas satu2nya yang menyokong menaiknya suhu global. Ilmuwan atmosfer sekarang percaya bahwa aktivitas industri dan pertanian dari manusia menyebabkan tumbuhnya berbagai gas2 lacak yang bisa memainkan peran penting. Gas2 lacak yang muncul menjadi sangat penting adalah methane (CH4), nitrous oxide (N2O), dan tipe tertentu dari chlorofuorocarbons (CFCs). Gas2 tersebut menyerap panjang gelombang dari radiasi Bumi yang kalau tidak, akan hilang ke angkasa. Secara bersama-sama, efek dari gas2 lacak tersebut bisa hampir sebesar CO2 dalam pemanasan atmosfer Bumi. Dengan kenaikan tertentu dalam kandungan karbon dioksida di atmosfer, apakah suhu global sudah naik?

Jawabannya ya, pernyataan di atas didasarkan pada laporan IPCC.

Selama abad 20, suhu global rata2 naik sekitar 0.6C (1F). Analisis data yang baru untuk BBU menunjukkan bahwa kenaikan suhu abad 20 sepertinya yang terbesar untuk abad2 selama kurun waktu 1000 th yl. Secara global, sangat mungkin bahwa sejak tahun 1850-1990 an adalah dekade terpanas dan 11 dari 12 tahun terakhir (1995-2006) dalam catatan menduduki diantara 12 tahun-tahun terpanas.

Sumber: 
Selanjutnya...

Sabtu, 17 Januari 2015

Di AS, Pemanasan Global Dongkrak Intensitas Petir

Di AS, Pemanasan Global Dongkrak Intensitas Petir  

TEMPO.CO, Berkeley - Hasil pemodelan iklim memprediksi peningkatan 50 persen sambaran petir yang terjadi di seluruh Amerika Serikat sebagai dampak perubahan iklim. Hasil studi kelompok ilmuwan dari University of California, Berkeley, ini dilaporkan dalam jurnal Science, pekan lalu. 

David Romps, pemimpin penelitian yang juga peneliti di Lawrence Berkeley National Laboratory, melihat prediksi tersebut dari curah hujan dan awan apung pada sebelas pemodelan iklim berbeda. "Efek gabungan keduanya akan menghasilkan banyak muatan listrik yang turun ke tanah," katanya, seperti dikutip dari Sciencedaily, Rabu, 19 November 2014. 

Menurut Romps, imbas lain adalah badai akan menjadi lebih eksplosif. Uap air yang berada di atmosfer, kata dia, menjadi bahan bakar utama ledakan. Pemanasan di udara menyebabkan uap air bertambah banyak. "Pengapian akan menjadi lebih besar," ujar Romps. (Lihat: Petir Menyambar Gedung World Trade Center di New York)

Semakin banyak sambaran petir berarti semakin banyak manusia yang berisiko terkena petir. Romps memprediksi jumlah korban akan mencapai ratusan, bahkan ribuan orang, tiap tahun. Namun dampak yang lebih signifikan adalah kebakaran hutan. Sebab, bertambahnya petir juga menghasilkan nitrogen oksida di atmosfer. 

Meskipun beberapa studi tentang petir sudah diterbitkan, tak ada yang memberikan solusi untuk mengantisipasi risiko tersambar. Penelitian Romps dan Jacob Seeley ini mencoba memprediksi pergerakan petir dan mencari jalan untuk menahannya. (Baca: Pemanasan Global Ancam Menenggelamkan Pulau)

Dalam studinya, Romps dan Seeley menemukan bahwa petir muncul dari pemisahan muatan dalam awan. Pemisahan tersebut dibantu oleh muatan uap air dari partikel es berat yang naik ke atmosfer.

Pengendapan air di atmosfer tersebut lalu berubah menjadi petir. Cepat-lambatnya proses perubahan air, kata dia, ditentukan oleh faktor yang disebut CAPE (convective available potential energy). Faktor ini diukur menggunakan instrumen berbentuk balon bernama radiosonde yang dilepaskan dua kali sehari. 

Tim peneliti kemudian menggunakan data Badan Pemantau Iklim Amerika untuk membandingkan hasil pengukuran radiosonde dan data serangan petir dari National Lightning Detection Network dari University of Albany. Romps pun menyimpulkan, 77 persen dari sambaran petir bisa diprediksi. "Kami terhenyak dengan bagusnya alat ini dalam memprediksi terjadinya petir," ujar Romps.

Penelitian mereka tidak berhenti di situ. Romps dan Seeley juga menganalisis sebelas pemodelan iklim dengan data dari Coupled Model Intercomparison Project (CMIP5). Lembaga ini didirikan untuk menciptakan pemodelan iklim dan menyediakan protokol standar untuk mempelajari atmosfer.

Hasil pembandingan dari pemodelan tersebut mengungkap kenaikan suhu rata-rata global. "Diprediksi mengalami peningkatan 11 persen per derajat Celsius pada akhir abad ini," ujar Romps. Berdasarkan pemodelan, Romps melihat ada peningkatan sebesar 50 persen serangan petir ke bumi pada 2100.

Pada masa mendatang, Romps berencana melihat proses peningkatan petir yang terjadi di seluruh Amerika. "Juga mengeskplorasi proses terjadinya petir yang dapat memperlihatkan konveksi atmosfer," ucapnya.

Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/11/19/061623083/Di-AS-Pemanasan-Global-Dongkrak-Intensitas-Petir
Selanjutnya...

Pemanasan Global Berpotensi Tingkatkan Kemiskinan

Pemanasan Global Berpotensi Tingkatkan Kemiskinan   
Sejumlah aktivis lingkungan melakukan aksi teatrikal saat berlangsungnya Konferensi Perubahan Iklim di Copenhagen, Senin (07/12). Mereka menuntut keputusan yang tepat untuk mengatasi pemanasan global di bumi ini. AP Photo/Anja Niedringhaus

TEMPO.CO, Washington - Bank Dunia memperingatkan negara-negara di dunia untuk mewaspadai dampak perubahan iklim. Menurut laporan yang dikeluarkan Bank Dunia pada Ahad, 23 November 2014, perubahan iklim akan meningkatkan tingkat kemiskinan di seluruh dunia.

Dalam laporan terbaru, dampak pemanasan global menyebabkan suhu udara naik tajam, yang akan membuat beberapa daerah mengalami gagal panen dan kekurangan pasokan air. Situasi tersebut membuat negara-negara di dunia kesulitan membawa rakyatnya keluar dari kemiskinan.

"Perubahan iklim menimbulkan risiko yang besar bagi kemajuan pembangunan dan dapat menggagalkan upaya global menghapus kemiskinan maupun peningkatan kesejahteraan," demikian bunyi laporan Bank Dunia, seperti dilansir Channel News Asia, Senin, 24 November 2014.

Tanpa pencegahan dan keseriusan, tingkat pemanasan global bisa melebihi 1,5-2 derajat Celcius. "Dan dampak yang dihasilkan secara signifikan dapat memperburuk kemiskinan di beberapa daerah di seluruh dunia." (Baca: Tahun Ini, Musim Terpanas Sepanjang Sejarah)

Bank Dunia juga menyatakan pemanasan global akan menyebabkan suhu naik 1,5 derajat Celcius, yang disumbang oleh industri. Kenaikan suhu juga disebabkan oleh emisi gas rumah kaca yang sudah terjadi sejak lama. Artinya, masyarakat dunia akan merasakan suhu yang semakin panas, naiknya permukaan laut, dan seringnya kejadian badai tropis. (Baca: Letusan Kecil Hambat Pemanasan Global)

Tanpa adanya aksi bersama, kenaikan suhu global diprediksi dapat melonjak hingga di atas 4 derajat Celcius. "Menghapus kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan global, dan mengurangi kesenjangan global akan semakin sulit bila suhu panas melebihi 2 derajat Celcius," kata Presiden Bank Dunia Jim Yong Kim.

Laporan Bank Dunia yang berjudul "Turn Down the Heat: Confronting the New Climate Normal" menunjukkan bahwa kenaikan suhu 2 derajat Celsius dapat menyebabkan produksi tanaman kedelai Brasil turun hingga 70 persen. Di Makedonia, dengan kenaikan suhu yang sama, produksi jagung, gandum, dan anggur akan turun 50 persen.

Dampak-dampak tersebut, lanjut Kim, akan semakin menjauhkan upaya Bank Dunia mencapai target terhapusnya kemiskinan di seluruh dunia pada 2030. 

Perubahan iklim juga dapat meningkatkan risiko keamanan dan angka pengangguran serta menimbulkan ketidakstabilan politik. "Hal ini menciptakan potensi pemberontakan sosial dan konflik kekerasan," ujar Kim.

Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/11/24/116624056/Pemanasan-Global-Berpotensi-Tingkatkan-Kemiskinan--
Selanjutnya...

Kamis, 15 Januari 2015

Kerusakan Terumbu Karang Akibat PEMANASAN GLOBAL



Terumbu karang merupakan salah satu biota laut yang mengalami kerusakan akibat pemanasan global ini. Dengan kenaikan temperatur 1oC saja polip karang mengalami stress berat dan jika berlangsung dalam waktu lama (3-6 bulan), akan menyebabkan lepasnya alga zooxanthellae dalam tubuh hewan karang, dimana peristiwa ini disebut pencucian/pemutihan karang (coral bleaching). Meningkatnya temperatur perairan laut diluar batas normal, tingginya intensitas sinar ultraviolet, meningkatnya kekeruhan dan sedimentasi, serta kondisi salinitas yang tidak normal merupakan beberapa faktor penyebab terjadinya coral bleaching. Namun mayoritas penyebabnya secara besar-besaran dalam dua dekade terakhir lebih disebabkan oleh peningkatan temperatur perairan laut.

Dengan terhambatnya fotosintesis karang akan menurunkan laju kalsifikasi dan petumbuhan karang menjadi lambat serta meningkatnya emisi COdi atmosfer, turut mempengaruhi perubahan senyawa kimia karbon di permukaan laut sehingga mempengaruhi penurunan pH dan konsentrasi ion karbonat, yang dapat menurunkan kejenuhan CaCO3. Bahkan peningkatan CO2 menyebabkan berkurangnya laju kalsifikasi, sehingga menurunkan kemampuan adapatasi karang terhadap peningkatan paras laut. Hal ini juga dapat menyebabkan fitoplankton di laut mengalami kematian masal akibat peningkatan emisi GRK berupa CFC. Diperkirakan 16% pengurangan lapisan Ozon akan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan fitoplankton sebagai dasar rantai makanan sehingga menurunkan laju fotosintesis. Dengan semakin kecil ukuran individu dan populasi fitoplankton, akan menurunkan produktivitas primer yang menyebabkan terganggunya sistem rantai makanan di perairan laut sehingga berpengaruh langsung terhadap penurunan populasi zooplankton sebagai konsumennya dan selanjutnya berpotensi terhadap penurunan kelimpahan ikan sebagai konsumen pada tingkatan selanjutnya.

Sumber: http://marlina0936.blogspot.com/2012/04/kerusakan-terumbu-karang-akibat.html
Selanjutnya...

Selasa, 13 Januari 2015

Biota Laut Terancam Punah

Biota Laut Terancam Punah

TEMPO.COOslo - Biota laut tengah menghadapi masalah serius: kepunahan massal. Kombinasi dari temperatur tinggi, pengasaman, dan minimnya oksigen menjadi faktor mematikan yang menggerogoti kesehatan samudera. Kecepatannya melebihi perkiraan semula. 

Berbagai bentuk kehidupan di laut berada dalam risiko kepunahan terburuk sepanjang masa. Sebuah studi mengungkapkan bahwa perubahan iklim dan penangkapan ikan secara berlebihan mengancam kehidupan berbagai organisme laut. 

Studi yang dilakukan oleh International Programme on the State of the Ocean (IPSO) menunjukkan bahwa gangguan terhadap terumbu karang atau meluasnya "zona mati"--perairan yang memiliki kandungan oksigen amat rendah--sulit ditangani dalam waktu singkat. 

Laporan tersebut menyatakan masalah yang disebabkan oleh pemanasan global dan berbagai faktor lain akan bertambah buruk bila seluruh faktor bergabung satu sama lain. 

"Kita menghadapi punahnya beberapa spesies laut dan seluruh ekosistem laut, seperti terumbu karang dalam satu generasi," demikian isi laporan studi itu kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa. 

Laporan itu menyebutkan bahwa perubahan yang mempengaruhi sejumlah laut di berbagai belahan bumi terjadi jauh lebih cepat daripada skenario terburuk yang diprediksi dalam beberapa tahun terakhir. 

Laporan yang melibatkan 27 peneliti kelautan tersebut juga mengingatkan perlunya dunia segera mengambil tindakan untuk mengantisipasi kemungkinan tersebut. 

"Bila tidak segera diatasi, konsekuensi dari aktivitas manusia akan berisiko menyebabkan peristiwa kepunahan massal di laut melalui kombinasi efek perubahan iklim, eksploitasi berlebihan, dan kerusakan habitat," kata para peneliti. 

Mereka telah mendata lima kepunahan massal selama 600 juta tahun. Peristiwa terbaru adalah ketika dinosaurus menghilang dari muka bumi sekitar 65 juta tahun lampau yang diperkirakan akibat tumbukan asteroid. Periode Permian juga berakhir secara tiba-tiba pada 250 juta tahun silam. 

"Penemuan ini sangat mengejutkan," kata Alex Rogers, Direktur Ilmiah IPSO, dalam kesimpulannya tentang hasil lokakarya para pakar kelautan 2011 yang digelar oleh IPSO dan International Union for Conservation of Nature (IUCN) di Oxford University, Inggris.

Kepunahan massal organisme laut akan berdampak besar pada umat manusia. Ikan adalah sumber utama protein bagi seperlima populasi dunia. Laut juga membantu mendaur oksigen dan menyerap karbon dioksida, gas rumah kaca yang sebagian besar berasal dari aktivitas manusia. 

Jelle Bijma, peneliti dari Alfred Wegener Institute, mengatakan laut menghadapi ancaman "trio mematikan", yaitu temperatur tinggi, pengasaman atau acidification, dan minimnya oksigen (anoxia). Ketiga faktor yang berbahaya bagi kesehatan laut itu terlibat dalam beberapa kepunahan massal sebelumnya. 

Penumpukan karbon dioksida dari bahan bakar fosil dituding oleh panel ilmuwan iklim PBB sebagai penyebab pemanasan global. Gas rumah kaca itu diserap oleh laut dan memicu terjadinya pengasaman air laut. Sementara, polusi dan sisa pupuk yang terbawa sungai ke samudera menyebabkan anoxia yang memicu terjadinya "zona mati". 

"Dari sudut pandang geologi, kepunahan massal terjadi hanya dalam waktu semalam. Namun, dalam skala waktu manusia, kita mungkin tidak menyadari sedang berada di tengah-tengah peristiwa tersebut," kata Bijma.

Studi mengatakan bahwa tindakan yang paling mudah dilakukan oleh berbagai negara untuk memutarbalikkan kondisi itu adalah membatasi penangkapan ikan. Pemerintah di tiap negara juga harus segera menekan laju pemanasan global dengan beralih dari bahan bakar fosil, misalnya, ke energi yang lebih bersih, seperti tenaga surya dan angin. 

"Berbeda dengan perubahan iklim, hal ini dapat langsung ditanggulangi dengan cepat dan efektif oleh perubahan kebijakan," kata William Cheung dari University of East Anglia. "Penangkapan ikan secara berlebihan diperkirakan bertanggung jawab atas lebih dari 60 persen kepunahan spesies ikan laut, baik lokal maupun global." 

Salah satu spesies ikan yang menjadi korban penangkapan ikan tak terkendali adalah ikan bahaba Cina, yang dapat tumbuh sepanjang 2 meter. Harga 1 kilogram gelembung renangnya, yang dipercaya memiliki khasiat obat, naik dari beberapa dolar saja pada 1930-an menjadi US$ 20-70 ribu.

Kombinasi berbagai masalah itu menunjukkan bahwa kematian spesies laut di seluruh dunia yang akan terjadi dalam waktu dekat ini akan menyaingi kepunahan massal di masa lalu. 

"Kematian terumbu karang saja sudah dapat dianggap sebagai kepunahan massal," kata Alex Rogers, yang juga peneliti dari University of Oxford. Sebuah peristiwa bleaching pada 1998 membunuh seperenam terumbu karang tropis dunia. Kematian karang berumur 1.000 tahun di Samudera Hindia itu sangat tak terduga. 

Sebuah studi berbeda yang dirilis pekan lalu juga memaparkan dengan detail tentang kenaikan permukaan laut akibat pemanasan global. Studi itu menemukan bahwa permukaan samudera dunia naik secara signifikan selama satu abad terakhir. 

Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2011/07/01/095344193/Biota-Laut-Terancam-Punah
Selanjutnya...

Pemanasan Global Memperkecil Ukuran Ikan

VANCOUVER, KOMPAS.com - Kegagalan untuk mengontrol emisi gas rumah kaca berpotensi menimbulkan dampak pada ekosistem laut yang lebih buruk dari perkiraan. Para peneliti menyatakan, pemanasan global akibat emisi gas rumah kaca berpeluang memperkecil ukuran ikan.

Pernyataan tersebut didasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan dengan melakukan pemodelan reaksi ikan terhadap rendahnya level oksigen di laut. Meningkatnya suhu air laut menyebabkan oksigen terlarut menurun. Para peneliti menggunakan data Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) untuk pemodelan.

Berdasarkan pemodelan dampak meningkatnya temperatur air laut pada 600 spesies ikan antara tahun 2001 hingga 2050, diketahui bahwa dengan peningkatan suhu, ukuran ikan laut bisa berkurang antara 14 - 24 persen dari ukuran semula. 

Dr William Cheung dari University of British Columbia yang melakukan penelitian mengatakan, "Kenaikan temperatur akan meningkatkan kecepatan metabolisme ikan. Ini memicu peningkatan permintaan oksigen untuk aktivitas normal. Dengan demikian, ikan akan kehilangan oksigen untuk tumbuh saat ukuran kecil."

Penelitian juga menyimpulkan pergerakan ikan akibat pemanasan global. Menurut hasil riset itu, ikan akan bergerak menuju ke kutub dengan kecepatan 36 kilometer per dekade sebagai dampak dari meningkatnya suhu air laut.

Dr Alan Baudron dari University of Aberdeen di inggris yang tak terlibat penelitian mengatakan bahwa pengecilan ukuran ikan bisa berdampak negatif di dunia perikanan maupun kelangsungan hidup masing-masing spesies ikan itu sendiri.

"Individu yang lebih kecil memproduksi telur yang lebih sedikit dan lebih kecil. Ini akan berdampak pada potensi reproduksi ikan dan dapat mengurangi ketahanannya pada faktor lain seperti tekanan perikanan dan polusi," kata Baudron seperti dikutip BBC, Minggu (30/9/2012).

Ke depan, perlu diselidiki respon biologis tubuh terhadap peningkatan suhu. hasil penelitian ini dipublikasikan di jurnal Nature Climate Change.

Sumber: http://sains.kompas.com/read/2012/10/01/18415673/Pemanasan.Global.Memperkecil.Ukuran.Ikan
Selanjutnya...

Akibat Pemanasan global yang dapat membuat anda sakit

Para ilmuwan memprediksi akan banyak kematian dan penyakit akibat gelombang panas, bencana alam, dan menyebarnya penyakit tropis seperti malaria.

Ancaman terhadap kesehatan manusia akan timbul akibat dari perubahan suhu lingkungan air laut dan air tawar pada dekade mendatang. Demikian dikatakan oleh para ahli pada pertemuan "American Association for the Advancement of Science" Februari lalu di Washington, DC.


Beberapa ilmuwan yang didanai oleh "National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA)", telah melakukan penelitian mengenai risiko kesehatan tersembunyi dari pemanasan global.



Dan, inilah hasilnya :

1. Ganggang beracun akan mencemari ikan laut.
Spesies ganggang "Catenella Alexandrium"  akan menghasilkan racun yang dapat terakumulasi dalam ikan laut  yang akan menyebabkan gangguan pada manusia mulai dari hanya sekedar muntah-muntah, kelumpuhan otot atau bahkan kematian.

2. Bakteri laut yang berbahaya akan berkembang.
Dari pemodelan perubahan iklim yang dilakukan para ahli terlihat bahwa daerah yang basah akan menjadi semakin basah dan daerah yang kering akan semakin kering.
Hal ini akan meningkatkan pembentukan padang pasir baru dan akibatnya jumlah debu yang memasuki atmosfir akan menjadi lebih banyak pula. Debu yang mengandung zat besi yang jatuh ke laut akan memicu pertumbuhan bakteri berbahaya "vibro" yang lambat laun akan terkumpul pada tubuh ikan laut.

    3. Pencemaran limbah berbahaya pada sumber air minum akan meningkat.
    Seorang ahli dari universitas Wisconsin-Milwaukee, Sandra McLellan yang melakukan pemodelan untuk memengetahui bagaimana pengaruh peningkatan curah hujan akibat perubahan iklim pada sistem pembuangan air limbah menemukan bahwa  peningkatan curah hujan menyebabkan limbah berbahaya dari sistem pembuangan air limbah masuk lebih banyak kedalam sumber-sumber air seperti sungai atau danau.

    Tanpa usaha serius dari seluruh penghuni bumi ini untuk mengurangi pemanasan global, kira-kira bagaimana keadaan bumi ini pada 50 tahun kedepan ? 


    Sumber: http://bekisarnet.blogspot.com/2011/03/akibat-pemanasan-global-yang-dapat.html
    Selanjutnya...

    Sabtu, 03 Januari 2015

    Singkong Makanan Alternatif Masa Depan



    sejumlah ilmuwan dari International Centre for Tropical Agriculture, Kolombia yang melakukan studi bertajuk Climate Change Agriculture and Food Security Research Programme mengungkapkan bahwa singkong, bisa jadi “Rambo” di kalangan bahan makanan.

    Peneliti menyebutkan, tanaman yang sering diabaikan ini justru lebih produktif pada kondisi temperatur yang lebih panas, dan bisa menjadi harapan satu-satunya bagi para petani Afrika yang terancam oleh perubahan iklim.

    Dalam laporan yang dipublikasikan di jurnal Tropical Plant Biology, singkong sendiri merupakan sumber karbohidrat kedua yang biasa dikonsumsi oleh penduduk kawasan sub-Sahara, Afrika, setelah jagung. Dia dimakan oleh sekitar 500 juta orang per harinya. Singkong juga mampu bertahan jauh lebih baik dibandingkan dengan kentang, jagung, kacang, pisang, jawawut, dan gandum dalam studi yang menggunakan kombinasi 24 model prediksi daya tahan tanaman dan perubahan iklim.

    “Singkong merupakan tanaman yang paling tahan, seperti Rambo di kalangan bahan makanan,” kata Andy Jarvis, pakar perubahan iklim yang mengetuai penelitian. “Dia mampu bertahan terhadap perubahan iklim seperti apapun yang terjadi,” ucapnya.

    Jarvis menyebutkan, singkong mampu bertahan di temperatur tinggi. Dan jika musim kering datang, ia akan mematikan diri sampai hujan kembali turun. “Tak ada tanaman lain yang mampu memiliki level ketahanan seperti ini,” ucapnya. “Dia mampu tumbuh di tanah berkondisi buruk dan hanya sedikit air,” sebut Jarvis.

    Peneliti menyebutkan, pada tahun 2030, temperatur akan 1,2 sampai dua derajat Celsius lebih panas dibanding saat ini. Jika dikombinasikan dengan perubahan pola curah hujan, maka singkong akan menjadi tanaman satu-satunya yang bisa bertahan.

    Para ilmuwan berharap, temuan mereka ini akan mendorong komunitas ilmiah untuk fokus melakukan studi terhadap umbi-umbian tersebut. Sebagai informasi, penelitian seputar singkong selama beberapa dekade terakhir sangat tertinggal jauh dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan terhadap bahan makanan lain seperti jagung, beras, dan gandum.

    Sumber: http://demo-blogmild.blogspot.com/2013/07/singkong-makanan-alternatif-masa-depan.html
    Selanjutnya...