"Hidup bagi saya sungguh berarti. Demikian pula kehidupan di sekeliling saya. Jika saya mengharapkan hidup saya dihormati, maka saya juga harus menghormati hidup makhluk lainnya. Namun etika di dunia Barat hanya menghormati hubungan di antara sesama manusia. Karena itu saya katakan etika Barat adalah etika yang terbatas. Yang kita perlukan adalah etika tak terbatas yang juga mencakup hubungan kita dengan binatang" (Albert Schweitzer, 1875-1965)

Sabtu, 17 Januari 2015

Di AS, Pemanasan Global Dongkrak Intensitas Petir

Di AS, Pemanasan Global Dongkrak Intensitas Petir  

TEMPO.CO, Berkeley - Hasil pemodelan iklim memprediksi peningkatan 50 persen sambaran petir yang terjadi di seluruh Amerika Serikat sebagai dampak perubahan iklim. Hasil studi kelompok ilmuwan dari University of California, Berkeley, ini dilaporkan dalam jurnal Science, pekan lalu. 

David Romps, pemimpin penelitian yang juga peneliti di Lawrence Berkeley National Laboratory, melihat prediksi tersebut dari curah hujan dan awan apung pada sebelas pemodelan iklim berbeda. "Efek gabungan keduanya akan menghasilkan banyak muatan listrik yang turun ke tanah," katanya, seperti dikutip dari Sciencedaily, Rabu, 19 November 2014. 

Menurut Romps, imbas lain adalah badai akan menjadi lebih eksplosif. Uap air yang berada di atmosfer, kata dia, menjadi bahan bakar utama ledakan. Pemanasan di udara menyebabkan uap air bertambah banyak. "Pengapian akan menjadi lebih besar," ujar Romps. (Lihat: Petir Menyambar Gedung World Trade Center di New York)

Semakin banyak sambaran petir berarti semakin banyak manusia yang berisiko terkena petir. Romps memprediksi jumlah korban akan mencapai ratusan, bahkan ribuan orang, tiap tahun. Namun dampak yang lebih signifikan adalah kebakaran hutan. Sebab, bertambahnya petir juga menghasilkan nitrogen oksida di atmosfer. 

Meskipun beberapa studi tentang petir sudah diterbitkan, tak ada yang memberikan solusi untuk mengantisipasi risiko tersambar. Penelitian Romps dan Jacob Seeley ini mencoba memprediksi pergerakan petir dan mencari jalan untuk menahannya. (Baca: Pemanasan Global Ancam Menenggelamkan Pulau)

Dalam studinya, Romps dan Seeley menemukan bahwa petir muncul dari pemisahan muatan dalam awan. Pemisahan tersebut dibantu oleh muatan uap air dari partikel es berat yang naik ke atmosfer.

Pengendapan air di atmosfer tersebut lalu berubah menjadi petir. Cepat-lambatnya proses perubahan air, kata dia, ditentukan oleh faktor yang disebut CAPE (convective available potential energy). Faktor ini diukur menggunakan instrumen berbentuk balon bernama radiosonde yang dilepaskan dua kali sehari. 

Tim peneliti kemudian menggunakan data Badan Pemantau Iklim Amerika untuk membandingkan hasil pengukuran radiosonde dan data serangan petir dari National Lightning Detection Network dari University of Albany. Romps pun menyimpulkan, 77 persen dari sambaran petir bisa diprediksi. "Kami terhenyak dengan bagusnya alat ini dalam memprediksi terjadinya petir," ujar Romps.

Penelitian mereka tidak berhenti di situ. Romps dan Seeley juga menganalisis sebelas pemodelan iklim dengan data dari Coupled Model Intercomparison Project (CMIP5). Lembaga ini didirikan untuk menciptakan pemodelan iklim dan menyediakan protokol standar untuk mempelajari atmosfer.

Hasil pembandingan dari pemodelan tersebut mengungkap kenaikan suhu rata-rata global. "Diprediksi mengalami peningkatan 11 persen per derajat Celsius pada akhir abad ini," ujar Romps. Berdasarkan pemodelan, Romps melihat ada peningkatan sebesar 50 persen serangan petir ke bumi pada 2100.

Pada masa mendatang, Romps berencana melihat proses peningkatan petir yang terjadi di seluruh Amerika. "Juga mengeskplorasi proses terjadinya petir yang dapat memperlihatkan konveksi atmosfer," ucapnya.

Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2014/11/19/061623083/Di-AS-Pemanasan-Global-Dongkrak-Intensitas-Petir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar