"Hidup bagi saya sungguh berarti. Demikian pula kehidupan di sekeliling saya. Jika saya mengharapkan hidup saya dihormati, maka saya juga harus menghormati hidup makhluk lainnya. Namun etika di dunia Barat hanya menghormati hubungan di antara sesama manusia. Karena itu saya katakan etika Barat adalah etika yang terbatas. Yang kita perlukan adalah etika tak terbatas yang juga mencakup hubungan kita dengan binatang" (Albert Schweitzer, 1875-1965)

Senin, 29 Desember 2014

Hasil Panen Dunia Akan Menurun, Dunia Segera Terancam Kelaparan

Disaat ini manusia sedang mengalami perubahan iklim drastis, pemanasan global berkisar 2 derajat Celcius akan merugikan petani dunia. Dampak pemanasan global 2 derajat Celcius akan akan mengurangi hasil panen dunia, merugikan tanaman didaerah iklim sedang dan tropis diikuti penurunan dari tahun 2030-an hingga seterusnya. Masa depan akan dibayang-bayangi kelaparan, bukan disebabkan ledakan penduduk tetapi akibat penurunan hasil panen diseluruh dunia.

Penelitian yang dipimpin Profesor Andy Challinor dari School of Earth And Environment - University of Leeds mnegatakan, hasil panen akan terpengaruh secara negatif akibat perubahan iklim dan terjadi jauh lebih awal dari yang diperkirakan sebelumnya. Hasil penelitian diterbitkan dalam jurnal Nature Climate Change pada Maret 2014.

Perubahan Iklim Kurangi Hasil Panen Dunia 


Dampak perubahan iklim terhadap tanaman akan bervariasi dari tahun ke tahun, begitu pula terjadi dari satu tempat ke tempat lain dengan variabilitas lebih besar karena cuaca semakin tidak menentu. Dalam penelitian itu, ilmuwan menciptakan data baru dengan menggabungkan dan membandingkan hasil dari 1700 penilaian. 
Respon 1700 penilaian perubahan iklim secara langsung berdampak pada hasil panen padi, jagung dan gandum diseluruh dunia.
Studi baru perubahan iklim menciptakan dataset terbesar sampai saat ini, khususnya mengenai dampak terhadap tanaman dengan hasil lebih dari dua kali lipat dari penelitian sebelumnya yang dilakukan IPCC Fourth Assessment Report tahun 2007. Para ilmuwan menyatakan wilayah yang beriklim sedang seperti Eropa dan sebagian besar Amerika Utara bisa menahan beberapa derajat pemanasan tanpa efek nyata pada hasil panen, atau mungkin mendapatkan keuntungan tersendiri dari panen berikutnya.

hasil panen, padi, Oryza sativa

Menurut Profesor Challinor, studi ini melihat pergeseran konsensus yang secara langsung mengisyaratkan bahwa dampak perubahan iklim akan terjadi lebih cepat daripada sebelumnya. Rata-rata dampak perubahan iklim semakin negatif pada hasil panen dunia dimulai dari tahun 2030-an hingga seterusnya. 
Dampak perubahan iklim akan semakin besar pada pertengahan abad, ketika penurunan hasil panen lebih dari 25 persen dan iklim itu akan menjadi semakin umum.
Dimasa mendatang, teror kelaparan mungkin akan menjadi masalah utama, dan hal ini bukan disebabkan ledakan penduduk tetapi akibat perubahan iklim yang mengurangi hasil panen dunia. Negara-negara yang berbeda akan mengalami situasi menang dan kalah dalam tahun tahun yang berbeda, kemungkinan besar manusia menghadapi kehancuran peradaban dunia

Situasi dimasa mendatang keseluruhannya berdampak negatis, dan yang seharusnya dilakukan pada saat ini adalah mendukung adaptasi agar kita mampu menghindari dampak buruk. Tehnik adaptasi kecil bisa diperkenalkan kepada petani, seperti penyesuaian dalam berbagai jenis tanaman dan tanggal penanaman. Transformasi pertanian diharapkan lebih besar dan memerlukan inovasi untuk menjaga hasil panen mendatang.

Referensi


Climate change will reduce crop yields sooner than we thought, 16 March 2014, by University of Leeds via EurekAlert. Journal ref: A meta-analysis of crop yield under climate change and adaptation. Nature Climate Change, 2014; DOI: 10.1038/NCLIMATE2153Oryza sativa of Kadavoor, image courtesy of Wikimedia Commons.


Sumber : http://www.isains.com/2014/03/hasil-panen-dunia-akan-menurun-dunia.html#ixzz3NMidg8TK
Follow us: @idsains on Twitter
Selanjutnya...

Krisis pangan, akankah terjadi?

Pangan adalah kebutuhan manusia yang paling mendasar. Tanpa makanan, mustahil manusia dapat hidup. Ada kekhawatiran pada suatu saat mendatang dunia ini akan terjadi krisis pangan. Benarkah demikian? Lalu faktor-faktor apa sajakah yang bisa menyulut terjadinya krisis pangan?
Krisis pangan – menurut hemat saya – terjadi bila harga kebutuhan pangan melambung tinggi sehingga tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat, atau memang terjadi kelangkaan pangan karena sebab-sebab tertentu. Keduanya mempunyai hubungan sebab akibat, dengan banyak faktor yang mempengaruhinya. faktor-faktor tersebut antara lain pengaruh global warming, ketersediaan air untuk irigasi, ketersediaan energi, ketersediaan lahan dan pengolah lahan, populasi penduduk dan regulasi dibidang pertanian.
Global Warming. Ada sementara orang berpendapat bahwa meningkatnya suhu permukaan bumi yang berarti menghangatnya udara karena pengaruh global warming akan meningkatkan produksi pertanian. Logikanya adalah, global warming terjadi karena meningkatnya gas-gas rumah kaca, diantaranya CO2. Nah, CO2 ini adalah zat penyubur tanah dan tanaman!!
Pendapat ini sebenarnya kurang tepat. Penelitian menunjukkan bahwa peningkatan suhu sebesar 1C akan menurunkan hasil panen pertanian sebesar rata-rata 10%! Disamping itu menghangatnya suhu udara jelas akan meningkatkan aktifitas hama dan penyakit tanaman, baik dalam intensitas serangan maupun jenisnya. Kita sering membaca di Koran, di internet atau melihat di tv serangan hama-hama tanaman yang kian mengganas. Wereng, kutu putih, penggeret batang adalah 3 dari ribuan jenis hama tanaman yang hidup subur diudara hangat yang menghantui para petani.
Pemanasan global juga berdampak pada perubahan iklim, dan perubahan iklim yang ekstrim mengakibatkan adanya cuaca buruk, kemarau panjang, banjir, angin ribut, yang semuanya itu berakibat buruk bagi pertanian. Lihat di situswww.tempointeraktif.com. Kekeringan yang melanda beberapa provinsi baru-baru ini mengakibatkan ribuan hektar padi mati kekeringan (berita tanggal 17 Sept.2008). Dan banyak lagi berita-berita bencana kekeringan dan banjir yang melanda lahan pertanian kita.
Ketersediaan air. Kebutuhan air untuk pertanian/perkebunan umumnya diperoleh dari 3 cara, yaitu air sungai yang dialirkan lewat saluran irigasi, air tanah yang disedot dengan pompa air dan air hujan. Kelangkaan air sering dihubungkan dengan pengaruh global warming, karena meningkatnya suhu permukaan bumi akan mempercepat penguapan air permukaan – air sungai dan air di saluran irigasi – serta air tanah yang digunakan untuk mengairi lahan pertanian. Global warming – seperti yang disebutkan diatas – juga sering mengakibatkan cuaca menjadi ekstrim, artinya musim kemarau akan semakin kering, dan musim hujan sering terjadi bencana alam seperti banjir, angin ribut dan sebagainya. Kalau hujan? Bukankah air hujan bisa digunakan untuk mengairi lahan pertanian ? Sayangnya pendapat tersebut tidak sepenuhnya benar. Hutan-hutan dihulu dan dibantaran sungai ditebang habis sehingga kemampuan tanahnya untuk mengikat air semakin kecil. Dengan demikian hujan deras justru bisa mengakibatkan banker banding yang merusak lahan pertanian, hujan normal airnya hanya bisa dimanfaatkan sesaat, sesudah itu hilang entah kemana.
Ketersediaan energi dan bbm. Pertanian – yang istilah kerennya agriculture – sudah sejak lama menjadi industri modern. Konsekuensinya, industrialisasi pertanian menuntut modernisasi pada alat-alat pertanian, modernisasi cara pendistribusian dan modernisasi di bidang pemasarannya. Kalau dulu untuk mengolah lahan persawahan cukup dengan kerbau untuk membajak, tapi sekarang dengan traktor. Kalau dulu dalam memanen padi dengan sistim gebyok, kemudian untuk menghasilkan beras bulir padinya dimasukkan kedalam “lesung” dan di “tutu” (dipukul-pukul) dengan alu (hayo remaja sekarang nggak tau yang namanya lesung dan alu/antan kan?), tapi sekarang, memanennya dengan mesin, kemudian gabahnya dibawa ke “rice-mill”, masuk mesin, keluar sudah menjadi beras. Kalau dulu membawa sayur mayur cukup dipikul, atau dibawa dengan gerobak yang ditarik lembu, atau paling banter dibawa dengan mobil pick up atau truk, sekarang tidak cukup hanya dengan truk, tapi truknya juga dipasangi pendingin supaya sayuran tetap segar. Kalau dulu hasil panenan cukup dibawa ke pasar tradisional, tapi sekarang dipasok ke supermarket atau mal, dan seterusnya.
Apa akibatnya? Dibutuhkan bahan bakar minyak (bbm) untuk menggerakan traktor, huller, mesin pengolah jagung, singkong, kentang dan sebagainya yang digunakan atas nama industrialisasi. Dibutuhkan bbm ekstra untuk menyalakan mesin pendingin yang dipasang di kendaraan pengangkut. Dibutuhkan energi listrik – yang pada akhirnya bbm – ekstra untuk penerangan di mal-mal, freezer untuk mengawetkan daging, ikan dsb, pendingin untuk menyegarkan sayur mayor dan seterusnya. Muaranya ya pada peningkatan penggunaan bbm. Jika bbm naik ? Otomatis pangan ikut naik, bahkan kadang-kadang lebih tinggi persentase kenaikkannya daripada kenaikan bbm sendiri. Jika bbm turun? Mana sih ada sejarahnya bbm turun kecuali untuk kepentingan politik tertentu? Trus gimana kalau bbm habis ? Nah, kalau yang ini lebih gawat lagi. Bbm termasuk bahan bakar fosil yang tak terbarukan, dan pada suatu saat pasti akan habis apalagi dengan eksploitasi super rakus seperti sekarang ini. Coba lihat di situs www.detikfinance.com : cadangan minyak di Indonesia tinggal 10 tahun lagi. Atau di www.bisniskeuangan.kompas.com : cadangan minyak dunia tinggal 42 tahun lagi. Jelas hal ini harus menjadi bahan pemikiran kita semua, karena pengaruhnya kepada ketersediaan pangan sangat besar. Harus ada upaya yang sistematis untuk mencari sumber-sumber energi alternatif yang menasional atau bahkan mendunia, seperti energi matahari, biofuel, energi angina dan lain sebagainya.
Ketersediaan lahan. Tanah adalah prasyarat utama dimana tanaman dapat tumbuh. Hasil pertanian seharusnya merupakan fungsi linear terhadap ketersediaan tanah, artinya jika tanah yang digarap semakin luas maka hasil yang diperoleh seharusnya semakin banyak. Celakanya, untuk mempertahankan fungsi linear ini banyak sekali variabel-variabel yang mempengaruhinya seperti air/irigasi, variabel yang bersifat “force majeur” misalnya banjir dan kekeringan, serta kesehatan/kesuburan tanah itu sendiri. Dua variabel pertama sudah saya bahas pada bagian 1, jadi sekarang saya akan fokus pada kesuburan/kesehatan tanah.
Tanah yang subur adalah tanah yang kaya akan organisme-organisme yang secara langsung maupun tidak, dapat menyuburkan tanah. Organisme-organisme ini terdapat pada lapisan teratas tanah, menggemburkan, memberi pori-pori, memberi kemampuan untuk mengikat oksigen dan zat penyubur tanaman. Dan satu lagi, tanah berhumus ini mampu “menangkap” air sehingga tetap menjaga kelembaban tanah, prasyarat untuk tanaman tumbuh subur. Pada kenyataannya tanah semacam ini amat jarang kita jumpai lagi. Banjir yang menerjang bertubi-tubi menggerus lapisan atas tanah tersebut, atau kekeringan berkepanjangan mengakibatkan tanah atas hilang tersapu angin.
Disisi lain proses penyuburan tanah secara “alami” tersebut memakan waktu yang panjang. Petani dan pengolah lahan tidak sabar. Maka sejak puluhan tahun yang lalu para petani akrab menggunakan pupuk dan pestisida kimia sebagai cara instant menyuburkan tanaman dan memberantas hama tanaman. Dan celakanya lagi, pemerintah justru mendorong penggunaan jor-joran pupuk kimia tersebut dengan memberi subsidi, mendirikan pabrik pupuk dipelbagai kota. Apa akibatnya ? Ibarat seorang atlet yang menggunakan steroid, berjaya diwaktu muda loyo setelah tua. Begitu juga dengan tanah. Penggunaan pupuk kimia secara berlebihan membuat tanah menjadi keras meranggas, kemampuannya mengikat co2 jauh berkurang sehingga banyak yang sebenarnya tidak layak untuk menjadi lahan pertanian yang produktif.
Cerita yang lebih mengenaskan lagi adalah nasib lahan-lahan produktif yang terletak dipinggiran kota. Euforia pembangunan membuat lahan pertanian yang masih produktif berubah fungsi menjadi real estate, gedung perkantoran dan kawasan industri, mengakibatkan tanah pertanian menjadi semakin sempit. Kemudian para petani yang masih setia pada pekerjaannya membuka lahan-lahan baru – yang sebagian berupa pembabatan/pembakaran hutan – sehingga menimbulkan masalah-masalah baru seperti yang telah kita ketahui bersama. Jangka pendeknya, biaya produksi pasti bertambah tinggi seiring dengan mahalnya transportasi dari dan ke lahan pertanian mereka, dibanding jika mereka masih tetap menggarap lahan dipinggiran kota. Disisi lain para “cukong” agroculture dengan industri modernnya pun ikut membuka lahan-lahan baru untuk perkebunan kelapa sawit dan perkebunan lainnya, juga dengan membabati/membakar hutan industri dan hutan primer. Akibatnya, perluasan lahan pertanian/perkebunan berdampak “sistemik” (mengambil istilah kebangkrutan bank century, gitu) terhadap ketahanan pangan dimasa datang.
Pengolah Lahan. Siapa pengolah lahan pertanian ? Ya petani. Dulu, menjadi petani adalah profesi yang membanggakan. Tapi generasi sekarang membayangkan juga enggak kalau kelak mereka menjadi petani. Bahkan bapak petanipun rasanya tidak rela kalau anaknya kelak meneruskan profesinya. Sebagian besar dari mereka justru menyekolahkan anaknya bukan pada jurusan yang ada hubungannya dengan pertanian.
Profesi petani ini pada masa mendatang bisa menjadi salah satu faktor terjadinya krisis pangan karena jumlahnya semakin lama semakin menyusut, atau tidak sebanding dengan penambahan jumlah penduduk (rasio petani dibandingkan dengan total jumlah penduduk). Hal ini diakibatkan oleh berbagai sebab :
  • Banyak petani yang mempunyai lahan kecil menjual lahan mereka kepada petani yang lebih besar, atau kepada developer/pengembang perumahan dan kawasan industri. Mereka sekarang justru “bekerja” kepada petani yang lebih besar, atau mencari nafkah diluar bidang pertanian.
  • Profesi petani oleh sebagian masyarakat dianggap bukan profesi yang menjanjikan dimasa depan. Para bapak/ibu petani lebih senang jika anaknya menjadi pegawai kantor, atau bekerja pada bidang non-pertanian sehingga mereka menyekolahkan anak2nya pada jurusan bukan pertanian.
  • Industri pertanian/perkebunan dalam skala besar sering menggilas eksistensi petani tradisional baik dari segi produktifitas maupun pemasaran.
Degradasi tanah, penggunaan pupuk dan pestisida kimia, kurang menariknya menjadi petani, dimasa mendatang bisa mengancam ketersediaan pangan.
Berbicara tentang pengaruh pertumbuhan penduduk terhadap ketersediaan pangan, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, pertambahan penduduknya sendiri, dan kedua, tingkat konsumtif akibat peningkatan kesejahteraan masyarakat,
Pertumbuhan pendudukPertama, kalau berbicara tentang pertambahan penduduk, saya jadi teringat satu teori sewaktu kuliah ekonomi dulu. Malthus – seorang pendeta – mengemukakan teori bahwa pertumbuhan penduduk disuatu Negara akan meningkat cepat seperti deret ukur pelipatgandaan ( 1,2,4,8,16,32 ….. dst), sedangkan pertumbuhan pangan – karena keterbatasan tanah pertanian – hanya akan bertambah seperti deret hitung (1,2,3,4,5,6….dst). Arti sederhananya begini. Jika 1 orang membutuhkan 1 kg beras, maka untuk pertumbuhan penduduk sebanyak 32 orang, pada periode yang sama beras hanya tersedia sebanyak 6 kg dari yang seharusnya 32 kg. Atau dengan perkataan lain, pada periode itu 1 orang hanya mendapat jatah beras 2 ons dari yang seharusnya 1 kg!
Teori Malthus ini mungkin sedikit “berlebihan” mengingat banyak asumsi-asumsi yang tidak diperhitungkan atau belum terpikirkan pada waktu itu, seperti teknologi dan pengendalian jumlah penduduk. Pada kenyataannya sekarang, walaupun benar luas tanah terbatas, tapi kemajuan teknologi telah berhasil melipatgandakan produktifitastanaman pangan setiap hektar tanah. Dan program pengendalian jumlah kelahiran – keluarga berencana kalau di Indonesia – pun telah berhasil mengerem pertumbuhan penduduk.
Tapi boleh jadi teori Malthus ini bisa menjadi kenyataan dimasa mendatang mengingat :
  • Tidak semua negara, terutama negara dunia ketiga menerapkan sistem keluarga berencana seperti Indonesia, jadi ledakan penduduk dunia masih mungkin terjadi. Dan yang perlu diingat, krisis pangan adalah masalah global, bukan hanya masalah negara per negara.
  • Tanah-tanah produktif untuk pertanian menyusut secara drastis dari waktu ke waktu, entah karena beralih fungsi menjadi kawasan industri dan perumahan, maupun karena banyak tanah tidak produktif lagi karena sebab-sebab tertentu seperti penggunaan pestisida dan pupuk kimia, bencana kekeringan, erosi lapisan tanah bagian atas karena banjir, angin dan sebagainya. Tulisan saya pada bagian ke 2 mengibaratkan tanah seperti atlit yang mengkonsumsi steroid. Rangsangan yang berlebihan akan mengakibatkan si atlit menjadi “layu” dimasa tuanya. Begitu juga dengan tanah.
  • Menipisnya bahan bakar fosil mengakibatkan pemerintah dan banyak perusahaan2 raksasa melirik pertanian sebagai usaha mencari bahan bakar alternatif, atau yang disebut dengan biofuel atau bioenergi. Kita bisa melihat perkebunan kelapa sawit yang menelan tanah subur jutaan hektar, dari semula digunakan sebagai bahan baku minyak kelapa sawit kini sebagian panenannya digunakan untuk membuat energi nabati. Kalau di Indonesia gencar digalakkan menanam pohon jarak untuk bahan baku energi alternatif, di Amerika, ladang-ladang jagung diperluas untuk memenuhi kebutuhan bahan baku energi yang sama.
Kedua, adalah masalah gaya hidup. Jika suatu negara berhasil meningkatkan taraf hidup masyarakatnya, maka ada kecenderungan dari penduduknya untuk menganggap makan sebagai bagian dari gaya hidup, bukan lagi melulu sebagai kebutuhan pokok faali. Kita lihat saja di negara kita. Program keluarga berencana – terutama di era orde baru, kalau era reformasi sekarang ini sepertinya mlempem ya – sangat berhasil mengendalikan jumlah penduduk. Logikanya, jika jumlah penduduk terkendali, maka akan lebih mudah untuk mensejahterakan mereka. Dan memang demikian adanya. Ditambah dengan keberhasilan pembangunan di bidang ekonomi, maka sebagian rakyat Indonesia bertambah sejahtera. Golongan menengah keatas (kaya sampai kaya raya), golongan menengah (berada) dan golongan menengah kebawah (cukupan) bertambah banyak. Akibatnya seperti yang saya sebut diatas. Makan – oleh golongan golongan ini – menjadi bagian dari gaya hidup. Bak gayung bersambut, muncullah puluhan gerai-gerai makanan specialist baik yang lokal maupun import seperti fried chicken, donat, pizza dan lain sebagainya.
Saya sebenarnya tidak mempersoalkan kemunculan gerai-gerai tersebut. Justru yang saya khawatirkan adalah, apakah dalam jangka panjang harga yang dibandrol tidak mempengaruhi kegiatan ekonomi keluarga secara keseluruhan ? Bayangkan, sepiring nasi dibandrol sekitar 4000 – 5000 rupiah dan sepotong ayam goreng 10.000 rupiah, padahal di warung makan biasa harga sepiring nasi paling mahal 2000 rupiah dan sepotong ayam goreng masih bisa dijual dengan harga 4000 rupiah. Dampaknya ? Jelas ada seperti :
  • Selisih harga seperti diatas jelas merupakan keuntungan minimal, yang sebagian diperhitungkan dengan sewa tempat dan biaya operasional, sedangkan sisa keuntungan dibawa kenegara asal kalau siempunya orang asing, atau untuk membayar lisensi/franchise untuk pemilik lokal (uang franchise ini juga hengkang kenegara asal kan?).
  • Berpengaruh pada harga pangan khususnya beras. Sekarang disuper market Anda gampang menjumpai beras yang harga perkantungnya (10kg) 80.000 rupiah, bahkan ada yang 125.000 rupiah, karena kata labelnya beras tersebut asli dari Thailand, atau beras organik, atau beras khusus penderita diabet, beras super dan sebagainya. Bandingkan dengan harga beras IR (lokal) yang hanya 5500/kg.
  • Kebiasaan makan digerai-gerai semacam itu jelas menambah beban keuangan keluarga, yang seharusnya dapat digunakan untuk keperluan lain yang lebih penting.
Pertumbuhan penduduk dan gaya hidup rakyat yang sejahtera secara nyata memang belum terlihat berdampak pada ancaman krisis pangan, karena pemerintah pada umumnya masih mampu melakukan rekayasa teknologi untuk meningkatkan produktifitas pertanian dan pengendalian penduduk. Tapi bukan tidak mungkin dalam masa mendatang terjadi ledakan penduduk yang menyebabkan krisis pangan secara global.
RangkumanPengaruh global warning sungguh luar biasa. Suhu yang menghangat mengakibatkan es dan gletser lebih cepat mencair sehingga di beberapa tempat cadangan air minum maupun air untuk keperluan irigasi pertanian terancam lebih cepat habis. Suhu yang lebih hangat juga mempercepat penguapan air tanah, air sungai dan danau. Tanah terancam kering dan tandus karena tidak ada air untuk membasahi, dan akibatnya, hasil panen ikut terancam turun. Suhu yang lebih hangat dari sebelumnya menjadi surga bagi berkembangbiaknya penyakit dan hama tanaman, yang celakanya banyak yang bermutasi karena serangan gencar penggunaan pestisida, sehingga kemungkinan gagal panen semakin tinggi. Pemanasan global juga mengakibatkan perubahan iklim. Iklim yang ekstrim lebih sering terjadi. Panas yang lebih terik atau banjir yang melumatkan ratusan bahkan ribuan hektar tanaman pertanian menjadi lebih sering kita dengar dan alami.
Industrialisasi pertanian – seperti pada umumnya sebuah industri – berbasis pada efisiensi dan teknologi. Efisiensi pada dasarnya adalah mencapai hasil yang maksimal dengan menggunakan sumber daya seminimal mungkin. Maka di bidang pertanian ini banyak pekerjaan manusia yang diganti oleh mesin. Membajak, memanen, mengolah, mengangkut, menyimpan dan sebagainya, semuanya dikerjakan oleh mesin. Akibatnya dibutuhkan bahan bakar minyak lebih besar untuk menggerakkan mesin mesin dan mengangkut hasil panen. Dibutuhkan energi listrik lebih besar untuk mesin pengawet dan pendingin. Akibat lebih jauh, ada hubungan yang sensitif antara hasil pertanian dan bahan bakar minyak yang celakanya cadangannya semakin menipis. Dengan demikian kenaikan harga bbm secara otomatis akan menaikkan harga hasil pertanian yang pada suatu saat bisa mencekik leher sebagian besar masyarakat.
Tanah produktif yang digunakan untuk pertanian semakin lama kian menyempit karena alih fungsi tanah pertanian menjadi real estate ataupun kawasan industri atau peruntukan lainnya. Pembukaan lahan baru pasti tidak akan seimbang dengan alih fungsi ini, karena pembukaan lahan baru berarti perambahan hutan menjadi tanah pertanian, suatu hal yang harus dipikirkan sungguh2 dampaknya. Disisi lain, tanah yang masih produktif digenjot dengan pupuk kimia, yang dalam jangka panjang menurunkan kemampuan tanah untuk mengikat co2, zat penyubur tanah sehingga suatu saat nanti tanah menjadi kering dan tidak dapat ditanami lagi.
Pengolah tanahpun (baca : petani) sulit untuk regenerasi. Beberapa tahun mendatang jika petani-petani sekarang sudah tua dan tidak mampu bekerja disawah lagi, siapa penggantinya ? Kalau suatu saat saya berkesempatan mengadakan survey di SMU-SMU dan memberi pertanyaan begini : siapa yang bercita-cita menjadi petani ? Saya jamin sangat jarang anak-anak muda jaman sekarang yang ingin menjadi petani. Lalu kalau tidak ada petani, siapa yang mengolah lahan pertanian ?
Pertumbuhan penduduk berarti bertambah pula mulut manusia yang harus diberi makan. Pertumbuhan yang tak terkendali pasti mengundang bencana karena krisis pangan adalah masalah global, masalah dunia. Akankah pemikiran Malthus terbukti ? Wah amit-amit!!
Sumber: 
Selanjutnya...

Minggu, 28 Desember 2014

Penyebaran Hama Tanaman Akibat Pemanasan Global Ancam Keamanan Pangan

Sebuah studi terbaru mengungkapkan bahwa pemanasan global mengakibatkan penyebaran hama tanaman menuju arah Utara dan Selatan semakin sering terjadi, penyebaran hama ini terjadi hampir di setiap daerah dengan kecepatan hampir 3 kilometer per tahunnya.
Sebuah penelitian yang diterbitkan dalam jurnal Nature Climate Change dan dilakukan oleh para peneliti di University of Exeter dan Universitas Oxford, menunjukkan sebuah hubungan yang kuat antara suhu global yang meningkat selama 50 tahun terakhir dan ekspansi berbagai hama tanaman.
Pada saat ini sekitar 10-16% dari produksi tanaman (terutama pangan) global terserang hama. Hama tanaman yang menyerang yaitu jamur, bakteri, virus, serangga, nematoda, viroid dan Oomycetes. Keragaman  serta strain hama tanaman pun terus berkembang. Kerugian akibat hama tanaman berupa jamur dan mikroorganisme, jumlahnya cukup untuk memberi makan hampir sembilan persen dari populasi dunia saat ini. Studi ini menunjukkan bahwa angka-angka ini akan meningkat terus-menerus jika suhu global terus meningkat seperti yang diperkirakan.
Penyebaran hama pada tanaman disebabkan oleh aktivitas manusia (terutama hasil dari pengangkutan kargo internasional ) dan proses alami. Namun dalam studi ini menunjukkan bahwa pemanasan iklim memungkinkan hama semakin mudah untuk beradaptasi di daerah yang sebelumnya tidak cocok. Sebagai contoh, kenaikan suhu umumnya merangsang serangga herbivora di daerah subtropis, pada daerah ini wabah kumbang pinus (Dendroctonus ponderosae) telah menghancurkan sebagian besar wilayah hutan pinus di Pacific Northwest, Amerika Serikat. Selain itu, rice blast funguspada padi yang saat ini sudah menyebar di lebih dari 80 negara, dan memiliki efek yang besar, baik pada ekonomi maupun keseimbangan ekosistem, kini telah berpindah ke tanaman pangan lainnya yaitu gandum. Jenis jamur ini dianggap sebagai penyakit baru pada gandum (wheat blast), dimana penyakit ini mengurangi hasil panen gandum di Brasil secara signifikan.
Kumbang Pinus
Serangan Kumbang Pinus Gunung
Dr Dan Bebber dari University of Exeter mengatakan: “Jika penyebaran hama tanaman akibat  pemanasan global terus terjadi ditambah efek pertumbuhan jumlah penduduk dunia yang tak bisa ditekan akan menjadi ancaman keamanan pangan global.
Profesor Sarah Gurr dari University of Exeter (sebelumnya di Universitas Oxford) mengatakan: “Metode metode baru sangat diperlukan untuk memantau penyebaran hama tanaman serta diperlukan untuk mengendalikan gerakan mereka dari daerah ke daerah jika kita ingin menghentikan perusakan tanpa henti yang terjadi pada tanaman di dunia dan untuk menghadapi efek perubahan iklim yang sedang terjadi saat ini. “
Penelitian ini sendiri menggunakan observasi kepada 612 distribusi hama tanaman yang diterbitkan dan dikumpulkan selama 50 tahun terakhir. Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan hama utara dan selatan ke arah kutub, dan ke daerah baru yang sebelumnya belum terjajah, sesuai dengan peningkatan suhu selama periode tersebut.
Selanjutnya...

Jumat, 26 Desember 2014

Pemanasan Global: Banjir dan Kekeringan

Banyak orang yang kini mencemaskan masalah global warming. Dulu Orang berkata bahwa bumi itu sangat besar, dan manusia tidak mungkin memiliki dampak yang berbahaya terhadap lingkungan bumi. Mungkin pada saat itu memang benar, tapi kini tidak lagi. Bagian sistem ekologis bumi yang paling rentan adalah atmosfir. Karena atmosfir begitu tipis, menurut sahabat al gore (calon presiden amerika serikat) pernis pada sebuah globe itu sama seperti atmosfir bumi yang sebenarnya. Sehingga manusia mampu merubah susunannya. Itulah dasar pengetahuan global warming.

Radiasi matahari masuk ke bumi dengan bentuk gelombang cahaya dan memanasi bumi. Lalu sebagian radiasinya diserap dan menghangatkan bumi dan diradiasikan kembali ke angkasa Dalam bentuk radiasi inframerah dan sebagian radiasi inframerah terperangkap di dalam lapisan atmosfir dan menahannya. Dan itu merupakan hal baik, karena dapat menghangatkan bumi. Tapi lapisan tipis atmosfir ditipiskan oleh pemanasan global yang terjadi di bumi dan menyebabkan banyak infra merah yang terjebak . begitu atmosfir memanasi dunia itulah global warming.

Satu akibat pemanasan global warming adalah curah hujan yang lebih, tapi lebih banyak yang datang dalam satu kali badai. Karena penguapan air laut menyimpan banyak kelembapan. Ketika kondisi badai memicu turunya hujan deras. Sejauh ini curah hujan terbesar ada di kota India pernah dapatkan. Juga banyak banjir di china. Pemanasan Global, tidak hanya menyebabkan banjir, tapi juga musim kemarau. Propinsi tetangga kita yang terdekat, pada saat areanya mengalami Banjir, wilayah yang lain mengalami musim kemarau. Global warming menyebabkan banyak penguapan air laut untuk disimpan awan, tapi ia menghisap habis kelembapan tanah. Penguapan tanah meningkat dramatis dengan suhu lebih tinggi

Roger Revelle adalah orang pertama yang mengusulkan pengukuran karbondioksida bagi atmosfir bumi. Roger Revelle melakukan percobaan pada tahun 1957. Dipekerjakannya Charles David Keeling yang sangat setia dan teliti membuat pengukuran itu selama 10 tahun. Dimulai dengan cara menerbangkan balon cuaca setiap hari. Dan mereka memilih di tengah pasifik karena sangat terpencil. Roger Revelle adalah ilmuan yang sangat tekun. Dia berfokus pada data yang sulit. Dia menggambarkan hubungan antara perubahan lebih besar dalam peradaban kita dan pola ini sekarang terlihat pada atmosfir seluruh planet. Lalu dibicarakan bagaimana jadinya masa depan jika kita tidak membuat penyesuaian.

Setelah tujuh, delapan, Sembilan tahun pertama, ada sebuah pola yang setiap tahunnya naik turun. Dan dia menjelaskan bahwa kalau kita lihat seluruh permukaan bumi, bagian terkecil dan besar utara khatulistiwa , dan sebagian besar tumbuhan ada di selatan khatulistiwa. Dan ketika belahan utara condong ke matahari. Itu musim semi dan musim panas di eropa, dan jumlah atmosfir menurun. Tapi pada saat bagian utara menjauh dari matahari, itulah musim gugur dan musin dingin di eropa, dan jumlah atmosfir bumi kembali meningkat.

Teman Al gore, Lonnie Thompson, mengebor es. Dia dan temannya menggali dan mereka mengambil peralatan bornya dan melihat esnya dan mempelajarinya. Saat salju turun, ia memperangkap sedikit gelembung atmosfir dan mereka bisa masuk dan mengukur berapa banyak co2 dalam atmosfir pada saat salju turun. Mereka bisa mengukur isotop oksigen yang berbeda dan membayangkan thermometer yang sangat akurat dan memberi tahu berapa temperature saat gelembungnya terperangkap dalam salju saat jatuh. Mereka hitung lagi sari tahun ke tahun cara sama penjaga hutan membaca lingkaran pohon. Dan anda bisa lihat lapisan tiap tahunnya dari pencairan hingga membeku lagi, sehinga mereka bisa mengembalikan gunung gletser dalam 1000 tahun. Dan mereka membuat thermometer temperature.

Bila anda lihat pada nilai suhu pada seribu tahun lalu dan bandingkanlah 1000 tahun co2, bisa dilihat bagimana mereka bersatu. Saat co2 meningkat suhu semakin panas. Di bagian amerika serikat yang berisi kota-kota modern Cleveland, Detroit, New York , di bagian utara, kota-kota itu akan semakin panas, apa lagi 50 tahun mendatang. Karena setiap tahunya kadar co2 semakin meningkat. 10 tahun terpanas dalam catatan atmosfiris yaitu, 1990, 1991, 1995, 1997-1999, 2001-2005, dan yang terpanas adalah tahun 2005. Kita sudah melihat beberapa gelombang panas . Dua tahun lalu eropa mengalami gelombang panas yang besar hingga membunuh 35 ribu jiwa. Di tahun yang sama, suhu india naik sampai 500 celsius, musim panas yang lalu di amerika bagian barat suhu hampir mencapai 1000. Dan di bagian timur banyak kota yang menghadapi gejala yang sama, termasuk New Orleans.

Selain itu, dalam dua tahun terakhir, kita sudah melihat banyaknya badai besar. Diantaranya, Badai Jeane, Frances, dan Ivan. Dan di tahun yang sama, di Amerika mengalami badai besar, dan mendapat rekor sepanjang masa untuk tornado di AS. Jepang mendapat rekor sepanjang masa untuk Badai Tropis. Buku ilmu pengetahuan harus di tulis ulang karena di buku di tulis bahwa mustahil ada badai di Antlantik Selatan, tapi di tahun yang sama pernah menghantam Brasil. Badai pertama adalah Badai Emly yang mengguncang Yucatán . Lalu munculnya Badai Dennis dan menyebabkan kerusakan yang parah. Kemudian datang Badai Katrina dan apabila ini menimpa florida, akan termasuk kategori Satu. Selain membunuh banyak orang, juga terjadi kerusakan hingga triliyunan dolar. Ada peringatan bahwa badai ini, hari sebelum ini terjadi, akan menjebol tanggulnya, dan akan menyebabkan jenis kerusakan yang sangat parah.
Karang Es ward hunt adalah karang es terbesar di Artik. Tiga tahun yang lalu, karang es ini retak. Yang membuat para ilmuan terkejut. Dan jalur pipa di arktik mengalami kerusakan struktur yang besar. Kejadiannya, minyak yang mereka hasilkan di area terlindung di utara Alaska, mereka harus bergantung pada truk untuk masuk dan keluar dari sana melalui tanah yang beku. Ini menunjukkan jumlah hari dimana tanah di Alaska cukup membekukan yang melintas diatasnya.

Iklim bumi ibarat mesin besar yang meneruskan kembali panas dari khatulistiwa sampai kutub. Dan itu dilakukan melaui arus laut dan arus angin. Para ilmuan berkata bahwa iklim bumi adalah sistem nonlinear. Mereka juga menyimpulkan bahwa perubahannya tidak hanya bertahap, bisa melonjak secara mendadak. Berdasarkan seluruh dunia, rata-rata suhu tahunanya sekitar 14,40 celsius. Dan begitulah arus angin dan laut terbentuk mereka terbentuk sejak zaman es terakhir dan menjadi stabil. Dan salah satunya yang paling dicemaskan apabila mereka melewatkan banyak waktu untuk mempelajari masalahnya, adalah di atlantik utara dimana Arus Teluk datang dan bertemu dengan angin dingin mencapai Artik melalui Greenland. Sehingga air laut menguap, uapnya tertiup menuju eropa akibat tiupan angin biasa dan rotasi. Di atlantik utara, setelah panasnya lepas, yang tersisa hanya air yang lebih dingin dan lebih asin. Dan itu membuatnya lebih padat dan lebih berat. Pada akhir zaman es yang lalu, saat gletser terakhir surut dari amerika utara, es meleleh dan kolam besar berisi air tawar, terbentuk di Amerika utara. Dan Great Lakes adalah sisa dari danau besar itu.

Para ilmuwan meneliti sebuah karang es, saat mereka melihat gamabar-gambar Al Gore, mereka sangat terkejut, di mulai dari 31 Januari 2002, 17 February 2002, dan 5 maret 2002. Mereka tak bisa bayangkan, mengapa es situ mencair begitu cepat. Dan mereka mencari tahu dimana yang salah. Pada saat es mencair dan berjatuhan ke laut, tampak seperti membuka sesumbat keluar dari botolnya. Dan ada perbedaan antara es mengapung dan dataran es. Itu sebabnya masyarakat bangsa pasifik semuanya mengungsi ke selandia baru.

Jika Greendland ini lah yang terjadi pada permukaan laut florida, semua kurang lebih 1/3 pulau di dunia menjadi laut, begitupun Indonesia. Kita memberi banyak tekanan pada bumi. Kita memberi tekanan pada air, tekanan kepada SDA, dan tekanan pada kebutuhan pangan. Dan Revolusi pengetahuan dan teknologi merupakan anugerah besar yang member kita keuntungan yang sangat besar contohnya di bidang kedokteran dan komunikasi. Tapi kekuatan baru yang kita miliki juga membawa tanggung jawab untuk memikirkan konsekuensinya. Maka dari itu jagalah bumi kita ini.

Sumber: http://luckiindra7x.wo.com/2011/03/15/sebuah-kebenaran-yang-menyusahkan/
Selanjutnya...

Akibat Global Warming: 6 Dampak Merugikan Pemanasan Global

global warming

Pemanasan global (global warming) telah menjadi subyek perdebatan intens yang melintasi ranah politik dan sosial.
Terlepas bahwa ada sebagian pihak yang menganggap pemanasan global sebagai mitos, kenyataannya kita sekarang sudah bisa melihat dampaknya.
Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, berikut adalah beberapa dampak dan konsekuensi pemanasan global.

1. Kekeringan

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh sekelompok ahli iklim Inggris menemukan bahwa pemanasan global akan mengakibatkan kekeringan besar dalam 100 tahun ke depan.
Skala kekeringan begitu besar hingga mencakup setengah dari total lahan yang kita miliki saat ini.
Palmer Drought Severity Index (PDSI) menyatakan bahwa persentase global daerah kering telah meningkat sebesar 1,74% antara tahun 1950 dan 2008.
Kekeringan tentu saja akan memicu kegagalan panen yang akan berdampak fatal bagi populasi dunia.

2. Wabah

Perubahan iklim akan menyebabkan lonjakan epidemi sejumlah penyakit.
Berbagai virus umumnya tidak dapat bertahan hidup pada suhu dingin.
Namun, dengan kenaikan suhu akibat perubahan iklim, virus yang tadinya hanya mampu berkembang dalam iklim tropis kemudian menyebar ke daerah lain.
Korea Institite of Health and Social Affairs (KIHASA) menyatakan bahwa “Dalam kasus ekstrim, 1 derajat kenaikan suhu akan mengakibatkan kenaikan 6 persen dalam penyebaran penyakit.

3. Banjir

Pemanasan global yang mampu memicu banjir tampaknya berlawanan dengan logika.Namun kenyataannya perubahan iklim menyebabkan perubahan pola cuaca di seluruh dunia.
Dalam beberapa tahun terakhir kita telah melihat fenomena banjir besar yang menimpa berbagai belahan dunia.
Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperingatkan bahwa frekuensi banjir bandang akan meningkat dalam abad ini.

4. Pencairan es di kutub

Pemanasan global menyebabkan mencairnya es di Kutub Utara dan daerah Antartika (Kutub Selatan).
Suhu di daerah ini telah meningkat sekitar dua sampai tiga kali lipat. Es di kutub memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan.
Jika es mencair, pulau-pulau yang berada di bawah permukaan laut akan terancam bahaya.
Kota-kota seperti Shanghai dan negara kepulauan Maladewa adalah beberapa tempat yang akan terpapar risiko tertinggi dalam skenario seperti itu.

5. Kabut asap (smog)

Peningkatan suhu akibat pemanasan global akan membuat konsentrasi kabut asap di atmosfer mengalami peningkatan.
Peningkatan kabut asap pada akhirnya akan menyebabkan penyakit dan kematian.
Kabut asap juga mengintensifkan gelombang panas yang tentu saja dapat berdampak buruk bagi kehidupan.

6. Kebakaran hutan

Selama dekade terakhir ini, banyak penelitian telah dilakukan untuk memastikan apakah pemanasan global menyebabkan peningkatan frekuensi dan intensitas kebakaran hutan.
Kebakaran hutan menyebabkan kerusakan ekosistem dan infrastruktur. Akibat kebakaran hutan, jumlah pelepasan karbon dioksida yang merupakan gas rumah kaca juga akan meningkat yang pada akhirnya memperparah pemanasan global (global warming).
Selanjutnya...

Jumat, 12 Desember 2014

Sungai di jakarta mengering, permukaan tanah menurun



NEFOSNEWS, Jakarta - Beberapa tahun mendatang, sungai-sungai di Jakarta diperkirakan sudah tak dapat pasokan air bahkan mengering. Hal ini karena terjadi penurunan permukaan tanah.
"Kita ini sudah 10-12 sentimeter per tahun tanah turun. Tinggal 15 tahun. Memang tidak lama. Itu kalau itung-itungannya tidak ada satupun sungai di Jakarta akan mengalir. Karena dia turun sekitar 5-7 meter," kata M. Basuki Hadimuljono, Direktur Jenderal Penataan Ruang pada Kementerian Pekerjaan Umum (PU) seperti yang dilansir Merdeka, Senin (06/10/2014).
Selanjutnya Basuki menjelaskan saat ini penyerapan air tanah sudah sangat berlebihan. Hal ini diakibatkan lantaran tidak tersedianya pasokan air baku yang cukup. "Makanya sanitasi harus didahulukan," katanya.
Karena itu, pihaknya berencana melakukan program penyediaan air baku yang dialirkan ke 13 sungai di Jakarta. "Sumber air yang yang masuk ke Jakarta dari Citarum lewat waduk Jatiluhur," ungkapnya.
Sementara itu, Jan Sopaheluwakan, Guru Besar Riset Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menjelaskan kondisi lingkungan Jakarta saat ini memang semakin memprihatinkan. Tanah di kota ini tak mampu lagi menyerap air dari curah hujah sekitar 350 milimeter (mm). Tanah-tanah di Jakarta telah menyusut, bahkan hilang menjelma sebagai bangunan penduduk dan industri.
“Pinggiran pantai pun sudah ditutupi bangunan," kata Jan kepada wartawan beberapa waktu lalu.
Kawasan pantai di Jakarta yang telah direklamasi menjadi daratan, suatu saat bisa mengakibatkan abrasi pantai. Aliran air sungai juga semakin menyempit karena menjadi"tong sampah" raksasa masyarakat. Belum lagi permasalahan kurangnya jumlah ruang terbuka hijau di areal Jakarta.
Jan menambahkan sebagian wilayah Jakarta Utara yang telah mengalami penurunan permukaan tanah seperti Pluit, Kelapa Gading, Kemayoran, dan Sunter. Hal serupa juga dirasakan daerah Jakarta Barat yakni Kamal dan Cengkareng."Penurunan tanah sebesar 40 sampai 60 cm per tahun," ujar Jan.
Menghadapi kondisi seperti ini, lanjut Jan, revitalisasi harus dilakukan terhadap sungai, waduk, dan situ di Jakarta. Selain itu, membuka lahan-lahan baru untuk ruang terbuka hijau serta memperbanyak sumur resapan. (ima rusdiana)
Sumber : http://www.nefosnews.com/post/lingkungan/sungai-di-jakarta-terancam-kering-permukaan-tanah-menurun
Selanjutnya...

Jumat, 28 November 2014

Kentut Sapi dan Global Warming, Apa Hubungannya?



Alarm tanda bahaya pada bumi telah berdering kencang. Dewasa ini banyak sekali permasalahan-permasalahan yang menimpa bumi ini, terutama masalah lingkungan. Tentunya kita sudah tidak asing lagi dengan yang namanya Pemanasan Global (Global Warming). Banyak faktor penyebab global warming, salah satunya adalah pada sektor peternakan, khususnya peternakan sapi.

Sapi termasuk hewan mamalia dari familia Bovidae dan subfamilia Bovinae. Sapi dipelihara untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya sebagai bahan pangan. Kotoran sapi pun kini telah dimanfaatkan sebagai pupuk organik, sebagai bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar fosil yang sudah mulai langka, bahkan sebagai media pembenihan cacing tanah, 
yang nantinya digunakan sebagai bahan obat.

Tapi tahukah Anda, bahwa selama ini sapi ternyata menjadi salah satu penyebab global warming?

Sejak dulu kita hanya menyalahkan CO2, CO, atau CFC sebagai biang kerok penyebab global warming, padahal ada beberapa biang keladi lain penyebab global warming, salah satunya adalah gas metana.

Gas Metana Sangat Berbahaya

Mungkin belum banyak orang yang tahu tentang gas metana. Metana adalah gas anaerobik yang dihasilkan dari aktivitas mikroorganisme saat menguraikan bahan-bahan organik. Perlu diketahui bahwa gas metana mengandung emisi efek rumah kaca 23 kali lebih ganas ketimbang dengan gas CO2. Gas metana dihasilkan melalui proses yang berlangsung secara alamiah. Salah satu faktor yang dapat meningkatkan jumlah gas metana selain yang tersimpan di dasar laut pada kutub bumi adalah meningkatnya populasi ternak.

Selama ini ternyata sapi merupakan salah satu hewan ternak penyumbang terbesar gas metana. Sistem pencernaan sapi yang sangat lambat menjadi alasan mengapa binatang itu menghasilkan banyak gas metana, khususnya pada kentut sapi. Gas metana memiliki potensi menghasilkan efek rumah kaca seperti halnya gas CO2,bahkan lebih ganas 23 kalinya.

Pernah dilakukan suatu penelitian yang dilakukan oleh seorang yang berasal dari Argentina, bahwasanya didapatkan fakta kalau gas metana dari sapi menyumbang lebih dari 30% total emisi penyebab efek rumah kaca negara Argentina. Sebagai salah satu negara penghasil daging sapi terbesar di dunia, Argentina mempunyai lebih dari 55 juta ekor sapi yang merumput di daerah Pampas.

Dapat disimpulkan bahwa ketika seseorang mengkonsumsi banyak daging sapi, maka orang tersebut secara tidak langsung telah ikut menciptakan global warming. Hal ini mengindikasikan bahwa pola hidup seseorang akan mempunyai pengaruh besar terhadap keselamatan, atau bahkan kehancuran bumi sekalipun.

Selanjutnya...

Rabu, 26 November 2014

80% Hutan di Kalimantan Tengah Beralih Fungsi

Ilustrasi Hutan/Antara

Kabar24.com, SAMPIT— Badan Pengelola (BP) Reducing Emissions From Deforestation And Reducing (REDD+) menyatakan 80 persen hutan di Kalimantan Tengah (Kalteng) telah beralih fungsi.
"Berdasarkan pengamatan kami kondisi hutan di Kalteng sudah pada tahap memprihatinkan, karena banyak yang beralih fungsi menjadi perkebunan kelapa sawit maupun pertambangan," kata petugas sekretariat bersama (Sekber) REDD+, Teguh Priyatmono, di Sampit, Rabu (26/11/2014).

Saat ini, Kalteng dihadapkan pada permasalahan yang besar, akibat banyaknya hutan yang beralih fungsi tersebut, yakni bencana alam seperti banjir dan kekeringan sudah mengancam wilayah tersebut.
Pada kemarau, sumber air banyak yang mengering, begitu juga pada musim hujan terjadi banjir dimana-mana, karena hutan berkurang sehingga serapan air pun tidak ada lagi.

Menurut Teguh, untuk mengembalikan kondisi hutan di Kalteng membutuhkan kesadaran dan komitmen semua pihak.

"Kalteng merupakan provinsi perintis dalam pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan untuk mendorong upaya dan program terkait rencana aksi pencegahan kebakaran hutan dan lahan," katanya.
Kebakaran Hutan
Salah satu program yang digagas oleh Badan Pengelola TEDD+ dan Pemprov Kalteng adalah program penanggulangan kebakaran hutan dan lahan gambut berbasis masyarakat.

"Program pelatihan berseri untuk tim penanggulangan kebakaran hutan dan lahan telah dimulai sejak 2012. Pelatihan tersebut kami berikan dalam rangka peningkatan kapasitas terhadap komunitas dan pemerintah local untuk efektivitas penanganggulangan kebakaran hutan dan lahan gambut," katanya.

Pelibatan masyarakat sebagai salah satu aktor pencegah kebakaran hutan dan lahan gambut dinilai strategis untuk mendukung upaya mitigasi dan penanganan bersama.

"Tindakan pencegahan yang efektif hanya dapat dilakukan bila terdapat suatu pengorganisasian yang melibatkan pihak-pihak berkepentingan secara terpadu," terangnya. (Antara)
Selanjutnya...

Senin, 24 November 2014

Pemanasan Global, bom waktu bagi kelalaian manusia ?



Pemanasan global ? Masa bodoh bagi mereka yang selalu "cengangas-cengingis" ketika hendak dibekali bagaimana upaya meminimalisasi dampaknya.
       
Pemanasan global ? "Ngak begitu ngaruh tuh," bagi kalangan berkepentingan yang selalu saja "menggerogoti" lahan hutan nusantara hingga terus saja menciut.
       
Pemanasan global ? Mungkin baru akan menyadarkan manusia yang lalai ketika dampaknya, berupa bencana melanda kehidupannya.
       
Sebaiknya dihayati nasehat orang tua yang menyatakan, "jangan menyesal dan disesalkan, ketika sebuah keburukan (berupa bencana) menghampiri mu yang lalai."
       
Tidak ngerikah 'anda' dengan ungkapan Dr Niken Sakuntaladewi yang menyatakan bahwa pemanasan global kini semakin mengkhawatirkan.
     
Wanita yang menjabat sebagai Senior Scientist Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan, Kementrian Kehutanan RI ini menyatakan bahwa pemanasan global telah menimbulkan bencana di berbagai negara.
      
Dr Niken Sakuntaladewi dalam seminarnya di acara "Lokakarya Wartawan Peliputan Perubahan Iklim" di Pekanbaru, Riau, Selasa, mengumpamakan persoalan pemanasan global sebagai "bola api" yang terus memutarkan bencana bagi kehidupan manusia.

Salah satunya yang paling dirasakan sejak beberapa tahun terakhir menurut Niken adalah efek rumah kaca penyebab panas yang begitu menggerahkan.
     
Terkait rumah kaca, para ahli juga sudah setuju bahwa hal itu disebabkan oleh bertambahnya jumlah gas-gas rumah kaca (GRK) di atmosfir yang menyebabkan energi panas yang seharusnya dilepas ke luar atmosfir bumi dipantulkan kembali ke permukaan dan menyebabkan temperatur permukaan bumi menjadi lebih panas.
       
Kondisi efek rumah kaca, secara sederhana dapat diumpamakan dengan kondisi 'anda' ketika sedang berada di dalam mobil.
       
Namun mobil tersebut telah lama dihangatkan oleh sinaran matahari tanpa ada fungsi mesin pendingin dan, ketika itu 'anda' berada di dalamnya. Tidak percaya.
       
Dr Niken mencontohkan kabar terkait meninggalnya seorang bayi yang ditinggal orang tuanya di dalam mobil dengan tanpa menghidupkan mesin pendingin.
      
"Saya ingat betul peristiwa ini terjadi di Amerika. Hal itu disebabkan suhu udara yang begitu panas di dalam mobil tersebut. Nah, seperti inilah efek rumah kaca yang dimaksud," katanya.
       
Menurutnya pula, bahwa efek rumah kaca adalah dampak dari pemanasan global dan tingginya frekwensi aktivitas manusia di permukaan bumi.
     
Lantas, bagaimana jika suatu negara termasuk Indonesia merasakan  kebingungan karena sejumlah pulau negara tersebut hilang secara bertahap.
     
Dr Niken menyatakan hal itu disebabkan terus meningkatnya permukaan air laut, dimana gunung es di kutub utara terus mencair akibat pemanasan global.

Pangan dan Ekosistem
      Apakah pemanasan global juga menganggu sektor pangan dan ekosistem ? Dr Niken menjawab 'anda' benar.
      
Menurutnya pemanasan global yang terjadi di berbagai negara tidak terkecuali telah memberi dampak negatif terhadap ragam produk pangan dan air serta ekosistem.
       
"Yang jelas pemanasan global menyebabkan terjadinya perubahan iklim secara tak teratur," katanya.
       
Seperti kondisi cuaca ekstrem seperti panas yang berlebih hingga meningkat dua derajat celsius dan hujan yang turun secara tak teratur. Tidak percaya...!
     
Riau dilanda cuaca ekstrem pada awal 2012 lalu. Suhu udara di wilayah itu lebih panas dari biasanya. Dalam tiga hari terakhir, suhu di kawasan itu sudah mencapai 36 derajat Celcius. Panasnya suhu udara di Riau ini di abnormal.
    
Dikemukakan Aristya Ardhitama, Staf Analisa Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pekanbaru, suhu udara normal di Riau dalam kisaran 33,4 derajat Celcius.
     
Namun ketikat itu, suhu udara di sebagian Riau mencapai 36 derajat Celsius dan bahkan bertahan hingga beberapa hari terakhir. Masih mau bukti lagi...!
     
Banjir bandang yang terjadi kabupaten Kampar, Riau, pada akhir tahun 2011 menyebabkan dua warga tewas. Banjir tersebut merendam 307 rumah di 11 desa pada Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau.
      
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merilis bahwa akibat bencana itu, sebanyak 307 rumah terendam, 21 rumah hanyut,  37 hektar kebun karet rusak, 70,39 ton karet hanyut dan 55 hektar kebun kelapa sawit rusak.
     
"Kerugian material lainnya, empat jembatan yang dijadikan akses warga rusak dan 53 perahu hanyut," ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Sutopo.
     
Maraknya pembalakan liar di Kampar sebagai salah satu penyebab terjadinya banjir bandang tersebut. Meskipun pembalakan liar jauh lebih menurun dari tahun-tahun sebelumnya, tapi pembalakan liar tidak berhenti sekaligus di Kampar.
     
Kemudian seperti dikatakan Dr Noken, bahwa ditahun 2010 hampir sepanjang waktu nyaris tidak ada panas dan bahka hampir setiap harinya selalu saja terjadi hujan.
     
Apakah ini berdampak baik ? Dr Niken menyatakan " tidak." Hal itu menurut dia dikarenakan banyak petani gagal panen karena banjir merendam lahan pertanian mereka, dan banjir juga berpotensi memutuskan jalur-jalur perekonomian rakyat.
     
Kemudian kata Niken, pemanasan global juga berpotensi menimbulkan masalah bagi kesehatan manusia. Contohnya, demikian Niken, hal tersebut terjadi di Papua dimana ragam penyakit terutama malaria kian mewabah di daerah ini.

Terus Meningkat
     Masih kata Dr Niken yang kembali menyatakan bahwa bencana iklim cenderung meningkat bahkan drastis.
     "Seperti di Yogyakarta, tempat saya bermukim sebelumnya, sangat jarang yang namanya puting beliung, namun sejak beberapa tahun ini selalu terjadi," katanya.
      
Niken juga menguraikan prosentase perubahan tutupan lahan juga terus saja meningkat.
      
Apakah hal itu juga mempengaruhi pemanasan global ?
       "Tercatat sejak tahun 2000 hingga 2010, menunjukkan bahwa tutupan lahan yang berubah menjadi kawasan perkotaan begitu signifikan meningkat."
      
Akibatnya, maka berdampak pada perubahan iklim yang makin hari semakin mengerihkan dan hal ini disebabkan oleh kerusakan lingkungan atau hutan yang begitu besar.
       
Lingkungan yang kurang baik maka tidak lama kemudian biasanya akan berdampak pada masyarakat sekitar.
      
Perubahan iklim dan dampaknya masih akan berlangsung lama. Mengapa ?
      
Hal itu menurut Dr Niken disebabkan terlalu banyaknya emisi C02 terkosentrasi di atmosfir. Emisi C02 yang dikeluarkan manusia terus meningkat
     
Kemudian belum banyaknya tindakan yang dilakukan untuk mengatasinya. Dan, stabilitasi iklim memerlukan waktu yang cukup lama.
     
Mampukah...?. Semua tergantung lagi dari "roda-roda gila" yang saat ini terus berputar tak tentu arah. Jangan biarkan pemanasan global menjadi "bom waktu" yang sewaktu-waktu akan menimbulkan ledakan dahsyat hingga mendatangkan kesengsaraan umat manusia. Termasuk 'anda'...!

Sumber: http://antarariau.com/berita/23116/pemanasan-global,-bom-waktu-bagi-kelalaian-manusia-?.html
Selanjutnya...