"Hidup bagi saya sungguh berarti. Demikian pula kehidupan di sekeliling saya. Jika saya mengharapkan hidup saya dihormati, maka saya juga harus menghormati hidup makhluk lainnya. Namun etika di dunia Barat hanya menghormati hubungan di antara sesama manusia. Karena itu saya katakan etika Barat adalah etika yang terbatas. Yang kita perlukan adalah etika tak terbatas yang juga mencakup hubungan kita dengan binatang" (Albert Schweitzer, 1875-1965)

Senin, 24 Agustus 2015

EFEK PEMANASAN GLOBAL, NEGARA TUVALU TERANCAM HILANG

Negara Kepulauan Tuvalu terletak di antara Hawaii dan Australia di Samudra Pasifik  (gambar:istimwa)

Akibat pemanasan global, Tuvalu, Negara kepulauan yang dulunya dikenal sebagai Kepulauan Ellice yang terletak di antara Hawaii dan Australia di Samudra Pasifik mulai mengalami pengasinan tanah (intrusi) dan kuat dugaan pulau ini akan tenggelam. Tuvalu merupakan negara ketiga terkecil di dunia setelah Vatican City dan Nauru. Luas Tuvalu hanya 26 km persegi dan jumlah penduduk berdasarkan dataWorld Bank hanya berkisar 11.000 jiwa.
Tuvalu menjadi sorotan dunia ketika berbicara tentang bukti perubahan iklim. Dahulu, cuaca dan iklim di negara ini masih bersahabat dengan curah hujan yang teratur. Kini, dengan naiknya permukaan air laut menyebabkan tumbuhan sekitar pantai menjadi mati, seperti pohon kelapa yang merupakan tumpuan ekonomi negara ini. Disamping itu, permasalahan yang paling mendasar adalah kebutuhan masyarakat setempat terhadap ketersediaan air minum yang kini mengasin. Kebanyakan sumur bawah tanah kini tidak digunakan lagi karena air tanah menjadi asin.
Savilivili , salah satu dari delapan pulau di negara telah tenggelam pada tahun 1997. Hal yang sama mengancam Tuvalu secara keseluruhan. Negara ini akan tenggelam secara keseluruhan. Pasalnya,  titik tertinggi wilayah ini hanya setinggi 4.5 meter (15 kaki). Pada wilayah ini, air laut naik sekitar 40 cm setiap tahunnya, jika hal yang demikian terus terjadi, maka dalam seratus tahun lagi Tuvalu akan hilang dari permukaan bumi. Bahkan jika air laut naik dua kali lipat atau sekitar 80 cm setiap tahunnya, maka Tuvalu diprediksi akan hilang pada tahun 2060.
Selanjutnya...

Kiribati, Negara Pertama Yang Hilang Dari Bumi

Kiribati Negara Pertama Yang Akan Hilang Dari Muka Bumi

Kiribati, nama resminya Republik Kiribati, adalah sebuah negara kepulauan yang terletak di Samudra Pasifik. Negara yang penduduknya hanya sekitar 100 ribu jiwa ini terdiri dari 32 atol dan satu pulau besar. Dahulu Kiribati cukup kaya akan kandungan fosfat namun sayangnya semua fosfat itu telah habis ditambang oleh penjajah sebelum negara ini merdeka pada 12 Juli 1979.

Saat ini sebagian besar daerah Kiribati berupa pasir dan karang sehingga sangat sulit untuk dilakukan pertanian di negara ini. Negara ini sangat menggantungkan pendapatannya dari sektor pariwisata dan perikanan. Selain itu negara ini juga sangat bergantung dari bantuan internasional.

Negara Kiribati merupakan salah satu negara dengan ketinggian terendah dari permukaan laut. Nagara ini memiliki ketinggian rata-rata tidak lebih dari 2 meter dari permukaan laut. Saat ini sebagian negara ini,termasuk jalan-jalan dan beberapa area pemukiman, sudah mulai terendam oleh laut dan sebagian besar warganya mengungsi kebagian pulau yang lebih tinggi terutama disekitar kota Tarawa.

Beberapa ahli di dunia telah memperkirakan, bahwa negara yang menjadi titik awal sistem penanggalan dunia ini akan tenggelam total paling lambat pada tahun 2100. Dengan kondisi pemanasan global yang semakin parah saat ini malahan kemungkinan Kiribati akan hilang dalam waktu yang lebih cepat.

Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah Kiribati telah berupaya membeli area pemukiman di Fiji. Wilayah seluas sekitar 2000 hektare dipersiapkan sebagai tempat hunian baru bagi sekitar 100 ribuan penduduk Kiribati. Selain itu pemerintah Kiribati juga memberikan berbagai pendidikan dan keterampilan kepada masyarakatnya agar nanti bisa beradaptasi dan bekerja di daerah yang baru. Pemerintah Kiribati berharap rakyatnya akan mampu diterima dengan baik nantinya, bukan sebagai pengungsi tapi sebagai imigran yang bisa membawa dampak positif terhadap negara yang akan ditumpanginya.

Banyak pihak di dunia menyatakan salut atas tindakan yang diambil oleh pemerintah Kiribati. Mereka cepat sekali tanggap akan permasalahan yang terjadi dan merumuskan pemecahan yang sangat baik. Kini satu-satunya masalah yang menjadi kekhawatiran terbesar penduduk Kiribati adalah tentang keberlangsungan kebudayaan mereka nantinya.

Selanjutnya...

Sabtu, 22 Agustus 2015

2035, Gletser Habis dari Himalaya

Pemandangan Himalaya.(foto:ist)

Kathmandu: Lembaga penelitian berbasis di Kathmandu, Nepal The International Center for Integrated Mountain Development (ICIMOD) merilis data bahwa gletser di kawasan Himayala sudah mencair dalam 30 tahun terakhir. Ilmuan mengatakan bahwa jutaan orang berada di bawah ancaman bencana ekologis seperti banjir bandang dan kekeringan dari mencairnya gletser Himalaya.

Dalam laporan yang dipublikasi pada Selasa, (3/6/2014) menunjukkan bahwa gletser di Nepal telah menyusut sebesar 21 persen dan di negara Bhutan menyusut sebesar 22 persen selama 30 tahun terakhir. Penelitian yang sudah dilakukan sejak 2007 memprediksi bahwa gletser di atap dunia itu akan hilang pada 2035.

Penelitian jangka panjang ICIMOD yang didanai Pemerintah Swedia itu mensurvei 10 gletser di kawasan Himalaya. kesepuluh gletser itu menyusut dengan cepat mulai 2002. selain itu tim ilmuan juga menemukan penurunan signifikan daerah tutupan salju diseluruh kawasan Himalaya dalam satu dekade terakhir.

Para ilmuwan mengatakan dampak perubahan iklim di Himalaya bisa sangat menghancurkan. Hal ini dikarenakan kawasan Himalaya menyediakan makanan dan energi untuk 1.3 miliar orang yang tinggal di daerah aliran sungai dari Nepal dan Bhutan di bagian hulu hingga India dan Pakistan di hilir. (The Himalayan Times Daily/Xinhua)

Sumber: http://internasional.metrotvnews.com/read/2014/06/07/250018/2035-gletser-habis-dari-himalaya
Selanjutnya...

Ratusan Juta Penduduk Kekurangan Air

Para Ahli Memperingati tentang Kekurangan Air Hingga tahun 2080

Para ilmuwan memperingati tentang kekurangan air akibat perubahan iklim. Pada konferensi regional tentang pemanasan global di Singapura, Profesor Wong Poh Poh dari Universitas Nasional Singapura dan anggota Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim PBB menyatakan bahwa gangguan pemanasan global terhadap aliran air dapat mempengaruhi setengah populasi dunia.
Berbicara tentang pengaruh kemanusiaan terhadap pemanasan global, Rozali Ismail, ketua asosiasi air negara di Malaysia berkata, “Banjir, kekeringan, perubahan pola hujan, dan naiknya temperatur adalah tanda-tanda dari kekurang-pedulian kita terhadap alam.” Pengukuran adaptif dan penyejukan planet dianjurkan untuk semua negara.

Ratusan Juta Penduduk Asia Selatan Menghadapi Tekanan Kekurangan Air
1 Maret 2009

Sumber mata air di Asia Selatan semakin terancam. Sebuah laporan dari Program Lingkungan PBB (UNEP) dan Institut Teknologi Asia di Thailand telah menyimpulkan bahwa sumber air tawar di tiga lembah sungai utama di Asia Selatan terancam karena terkait dengan perubahan iklim dan penggunaan air yang berlebihan. Laporan tersebut menyatakan bahwa kekurangan air yang parah pada tiga lembah sungai akan mengancam hidup 750 juta orang. Dengan dua pertiga dari gletser Himalaya yang saat ini menyurut dengan hebat telah menyebabkan permukaan air tanah menurun dengan cepat di lembah Sungai Gangga, Brahmaputra, Meghna, dan Indus sehingga menyebabkan air terkontaminasi karena tercampur dengan air laut.

Maha Guru Ching Hai: Banyak orang yang peduli, tetapi sedikit yang bertindak untuk mencegah tragedi ini dan saya tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi jika seluruh gletser di Himalaya mencair. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana manusia akan hidup. Sungai Gangga telah memberi hidup kepada jutaan orang, airnya tergantung dari gletser dari Himalaya, dan jika itu mencair,maka pertama-tama kita akan kebanjiran dan kemudian kita akan mengalami kekeringan setelahnya.

Maha Guru Ching Hai: Karena air yang ada sekarang tidak didistribusikan secara merata seperti yang telah terjadi selama berabad-abad sebelumnya. Gletser ada di sana untuk memberi pasokan air bagi Sungai Gangga tapi sekarang ia terus mencair. Karena manusia menggunakannya, lalu air dari es yang mencair itu didistribusikan secara merata. Namun jika esnya mencair secara bersamaan maka penduduk setempat akan tenggelam, orang-orang akan mati dan banjir akan terjadi di mana-mana, tapi setelahnya kita tidak mempunyai air lagi. Tidak ada lagi penampungan air. Jadi nanti akan sering terjadi banjir atau kekeringan, ini sangat berbahaya bagi manusia, terutama orang-orang yang tergantung dari Sungai Gangga dan gletser untuk bertahan hidup. Saya sangat takut, namun saya hanya berdoa dan berharap agar orang-orang yang memiliki kekuasaan akan melakukan sesuatu.

Maha Guru Ching Hai: Satu-satunya solusi adalah pola makan vegetarian untuk semua orang.

Kelangkaan Air Dirasakan Di Seluruh AS 
28 Nov 2008

Kondisi yang kering telah mempengaruhi negara-negara bagian di sepanjang pantai barat sampai pantai timur negara ini. Di Kalifornia telah terjadi kekeringan yang menyeluruh dimana ada sembilan wilayah yang memohon bantuan air darurat dan banyaknya panen kacang yang gagal. Di Carolina Utara, 59 wilayah dinyatakan sebagai wilayah bencana yang diikuti oleh dua tahun masa kering dan turunnya hasil pertanian lebih dari 50%. Sementara itu, di Texas, lebih dari 40% dari negara bagian ini mengalami kondisi kekeringan serta telah dihantam tiga badai topan tahun ini.

Disadur dari ceramah Maha Guru Ching Hai pada Seminar Internasional pada tanggal 23 Agustus 2008.


Maha Guru Ching Hai: Saat ini, warga Amerika telah khawatir tentang kelangkaan air. Gletser mereka telah mencair, lebih banyak dari biasanya. Jadi hanya tersisa sedikit di sebagian puncak gunung di wilayah barat Amerika Serikat. Dan sungai telah menjadi kering, dan mereka meramalkan bahwa hanya beberapa tahun, dua tahun lagi, airnya mungkin bahkan tidak akan cukup untuk 23 juta orang yang bergantung pada air untuk bertahan.

Bisakah Anda bayangkan? Ini bukannya terjadi di Afrika. Ini bukannya terjadi di beberapa negara kering, gurun. Ini bahkan telah terjadi di Amerika Serikat, dan di Australia dan semua itu. Ini menjadi semakin buruk dan buruk sekarang. Jika saja saya bisa keluar dan memohon pada setiap orang di jalanan, “Tolong berhentilah makan daging dan hentikan peternakan dan hentikan eksploitasi sumber daya Bumi, hentikan pemborosan air!” Saya akan lakukan itu. Jika orang-orang bertobat dalam hati mereka dan bertindak cukup cepat, beralih ke pola makan vegetarian, dengan berkah dari Surga, dengan campur tangan dari kekuatan positif, kita mungkin masih bisa menyelamatkan 80% populasi planet ini.

Sumber-sumber Air di Selandia Baru Terancam
28 Feb 2009

Berdasarkan penelaahan atas Pernyataan Kebijakan Nasional tentang Pengelolaan Air Bersih yang baru saja diajukan pemerintah, penulis New Zealand Elizabeth Chambers mencatat bahwa kualitas air bersih di seluruh negara menjadi semakin langka karena pengelolaan air yang tidak berkelanjutan, kekeringan akibat meningkatnya perubahan iklim, polusi dari meluasnya penggunaan pupuk, dan yang terutama adalah besarnya industri peternakan yang tidak hanya membutuhkan jumlah air bersih yang tak terkira banyaknya tetapi juga menimbulkan polusi sungai dari limbah peternakan. Pemerintah Selandia Baru sedang membentuk sejumlah peraturan untuk memastikan kelangsungan dan ketersediaan air bersih yang memadai di seluruh negeri. Pada saat yang sama diakui bahwa produksi peternakan adalah bagian utama dari masalah ini, dimana satu ekor sapi membutuhkan 2000 sampai 4000 liter air untuk setiap liter susu, menurut jurnalis Inggris Fred Pearce.

Supreme Master Ching Hai: Sekarang mengenai air: satu porsi sapi butuh 1200 galon, satu porsi ayam 330 galon, dan satu porsi makanan vegan yang meliputi tahu, nasi, sayur-sayuran, dll hanya butuh 98 galon. Sekarang setiap orang bicara tentang kekurangan makanan dan air, penyebab utamanya, sekali lagi adalah peternakan hewan. Itu belum termasuk kontaminasi terhadap seluruh sumber air dan penggunaan lainnya. Kita tidak bisa menanggung hal seperti ini selamanya. Kita harus hentikan konsumsi daging. Kita harus hentikan daging, hanya agar bisa bertahan.
Tuhan telah menyediakan cukup air untuk kita, makanan yang cukup untuk kita yang bahkan cukup untuk selamanya jika saja kita tahu bagaimana menghentikan pemborosan sumber daya alam untuk makanan dan minuman. Kita seharusnya tidak membunuh teman-teman satwa kita yang hidup hanya untuk memuaskan kerakusan kita. Dan ini adalah poin utama dari berbagai masalah di dunia saat ini - pemborosan pahala moral dan sumber daya dunia. Ketika kita berhenti makan daging, kita memiliki 70% air bersih tambahan yang dapat digunakan. Tinggalkan saja potongan daging dari pola makan Anda. Biarkan kedamaian dimulai dari meja makan Anda.

Selanjutnya...

Es di Kutub Utara Mencair, Manusia Terancam Hirup Gas Merkuri

Gunung es di Kutub Utara kerap mencair

LOS ANGELES (2012) -- Perubahan iklim yang semakin parah membuat es abadi di kutub utara semakin cepat mencair. Mencairnya volume es yang sangat signifikan di kutub utara ini ternyata memunculkan reaksi kimia yang mengintensifkan keluarnya endapan merkuri beracun.

Dalam sebuah penelitian yang dipublikasikan Badan Antariksa Nasional Amerika (NASA), Kamis (1/2). Peneliti NASA, Son Nghiem mengatakan, es abadi di laut Arktik yang mencair akan digantikan lapisan es yang lebih tipis dan lebih asin. Ini membuat interaksi sinar matahari dan es yang dingin melepaskan zat bromin ke udara.

Ini memicu reaksi kimia hebat ledakan bromin dan mengubahnya menjadi gas merkuri di atmosfer dalam jumlah besar. Kemudian merkuri ini akan menjadi polutan yang dihirup, jatuh ke tanah dan air dan berkumpul di sumber makanan manusia.

"Panas muka bumi telah melelehkan es lebih banyak ke laut ditambah eksploitasi berlebihan sumber alam Arktik akan memperburuk kondisi ini," kata Nghiem di Jet Propulsion Laboratory di Pasadena.

Ledakan bromin juga akan menghapus lapisan ozon dari tingkat terendah di atmosfer, troposfer. Mengkhawatirkan, Nghiem dan para peneliti lain memperkirakan satu juta kilometer es akan hilang, dalam waktu sepuluh tahun mendatang.

Pada bulan Maret 2008, peneliti mengungkapkan bahwa es abadi telah berada pada titik terendah selama 50 tahun terakhir. Penelitian dilakukan oleh tim ahli gabungan dari Amerika Serikat, Kanada, Jerman dan Inggris. Dan data gabungan dari enam badan antariksa dunia.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/lingkungan/12/03/02/m08jtg-es-di-kutub-utara-mencair-manusia-terancam-hirup-gas-merkuri
Selanjutnya...

Es Raksasa Antartika Meleleh 2020, Bumi Bermasalah

Es Raksasa Antartika Meleleh 2020, Bumi Bermasalah

Es 10 ribu tahun meleleh akan naikkan permukaan air laut global.

Es raksasa yang berada di Antartika mulai terancam meleleh. Saat ini, salah satu es raksasa bernama Larsen B Ice Shelf, yang berada di ujung selatan bumi ini, menjadi calon yang akan hilang sebagai es abadi. Pelelehan itu diperkirakan terjadi dalam beberapa tahun lagi.

Kepunahan Larsen B Ice Shelf berhasil diidentifikasi oleh studi yang dilakukan Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA). Diprediksikan oleh NASA, es raksasa berukuran berukuran 1.600 kilometer persegi akan menghilang di Antartika pada 2020.

"Studi gletser Antartika ini memberikan wawasan tentang bagaimana bongkahan es jauh di selatan, akan mempengaruhi tanah akibat terhadap reaksi pemanasan iklim," ujar Eric Rignot, penulis studi dan ahli gletser Laboratorium Jet Propulsion NASA di Pasadena, California, dilansir Huffington Post, Selasa, 19 Mei 2015.

Diketahui, Larsen B Ice Shelf ini telah mencapai usia 10.000 tahun. Ukuran wilayah 1.600 Km persegi yang ada saat ini sebetulnya itu hanya sebagian. Sebab, sebagiannya lagi telah meleleh pada 2002 lalu. Pihak NASA mengatakan, sejak runtuh di tahun 2002 silam, kecepatan arus gletser di sana menjadi lebih cepat delapan kali lipat, yakni hampir sama dengan kecepatan mobil dari 88 kilometer per jam hingga mencapai 708 kilometer per jam.

Dalam penelitiannya tersebut, NASA memanfaatkan data dari pesawat dan satelit miliknya. NASA kemudian merilis hasil penelitiannya melalui jurnal Earth and Planetary Science baru-baru ini.

"Tahap akhir dari kematian Larsen B Ice Shelf kemungkinan akan terus berlangsung. Melemahnya bongkahan es itu semakin cepat, termasuk keretakan besar pada es tersebut dan mungkin akan mempengaruhi bagian es yang lainnya (di Antartika)," ungkap Ala Khazendar, penulis utama studi ini, dikutip dari Washington Post.

Kabar buruknya, es yang meleleh di Antartika ini memungkinkan akan meningkatnya volume air di permukaan laut secara global. Larsen B Ice Shelf yang berada di kawasan Semenanjung Antartika ini akan mempengaruhi laut global beberapa kaki.

Berdasarkan data dari US Geological Survey, memperkirakan gletser di Semenanjung Antartika akan berkontribusi hingga kenaikan hampir setengah meter permukaan laut global. Hal ini sama halnya bila es yang berada di Greenland, Antartika Barat, dan Antartika Timur bisa menaikan permukaan laut di Bumi.

"Tidak pernah ada yang mengatakan bahwa es di Antartika akan menjadi samudera, tapi kenaikan 10 hingga 20 cm akan menjadi masalah bagi planet ini," kata Khazendar.

Sumber: http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/627373-es-raksasa-antartika-meleleh-2020--bumi-bermasalah
Selanjutnya...

Rabu, 19 Agustus 2015

Letupan Gas Metana : Bom Waktu Yang Aktif


Laporan terbaru Dewan Arktik tentang efek dari pemanasan global di kutub utara menggambarkan pemandangan yang suram: banjir di seluruh dunia, punahnya beruang kutub dan hewan mamalia laut lainnya, menyusutnya produksi perikanan. Tetapi  laporan itu mengabaikan bom waktu aktif yang terkubur di dalam tundra Arktik.
Ada begitu banyak sekali jumlah gas rumah kaca yang terjadi secara alami yang terperangkap dalam struktur yang menyerupai es di dalam lumpur-lumpur dingin di belahan utara dan di dasar laut. Es-es ini, yang disebut klatrat, mengandung metana 3.000 kali lebih banyak daripada metana di atmosfer. Metana adalah gas rumah kaca yang 20 kali lebih kuat daripada karbon dioksida.
Sekarang, inilah bagian yang mengerikan. Kenaikan suhu hanya beberapa derajat saja akan menyebabkan gas ini menguap dan “menyembur” ke dalam atmosfer, yang selanjutnya akan menaikkan suhu udara, lalu metana terlepas lebih banyak lagi, memanaskan Bumi dan laut lebih jauh lagi, dan seterusnya. Ada 400 gigaton metana yang terkunci dalam padang es artik yang beku, cukup untuk memulai reaksi berantai ini dan pola pemanasan yang prediksikan oleh dewan artik cukup untuk melelehkan klatrat dan melepaskan gas-gas rumah kaca ini ke atmosfer.
Sekali terpicu, siklus ini bisa menyebabkan pemanasan global yang tak dapat dihentikan  yang tak pernah diutarakan oleh mereka yang pesimis mengenai malapetaka.
Sebuah nubuat fantasi yang dibuat-buat oleh aktivis lingkungan yang kalut? Sayangnya, tidak. Bukti geologi yang kuat menunjukkan sesuatu yang serupa pernah terjadi paling sedikit dua kali sebelumnya.
Bencana yang terakhir terjadi sekitar 55 juta tahun yang lalu yang oleh para ahli geologi dinamakan Paleocene-Eocene Thermal Maximum (PETM), ketika metana yang menyembur keluar menyebabkan pemanasan dalam waktu singkat dan kematian massal, menganggu iklim lebih dari 100.000 tahun.
Kakek moyang dari bencana itu terjadi 251 juta tahun yang lalu, pada akhir periode Permian, ketika serangkain ledakan metana menyembur keluar menyapu habis semua kehidupan di Bumi.
Lebih dari 94 persen spesies laut yang ditemukan dalam fosil saat ini menghilang tiba-tiba saat tingkat oksigen menurun drastis dan kehidupan berada di ambang kepunahan. Lebih dari 500.000 tahun berikutnya, beberapa spesies berjuang untuk hidup di tengah-tengah lingkungan yang tidak bersahabat. Dibutuhkan 20 sampai 30 juta tahun lamanya bagi terumbu karang yang paling sederhana sekalipun untuk memperbaiki dirinya sendiri dan bagi hutan untuk tumbuh kembali. Di beberapa area, bahkan dibutuhkan lebih dari 100 juta tahun bagi ekosistem untuk memulihkan keragaman hayati mereka seperti dulu.
Ahli geologi Michael J. Benton memaparkan bukti ilmiah atas tragedi penting ini dalam sebuah buku terbaru, Ketika Hidup Mendekati Kematian: Kepunahan Massal Terbesar Sepanjang Waktu. Seperti dengan PETM, gas-gas rumah kaca, kebanyakan karbon dioksida dari meningkatnya aktivitas vulkanik, sudah cukup untuk memanaskan bumi dan lautan untuk selanjutnya melepaskan gas Metana dalam jumlah yang sangat banyak dari klatrat yang sensitif ini, dan memicu dampak gas rumah kaca yang tiada henti.
Penyebab semua malapetaka ini ?
Dalam kedua kasus, kenaikan suhu udara sekitar 10,8 derajat Fahrenheit, di atas prediksi model saat ini mengenai kenaikan rata-rata suhu global dapat diperkirakan berasal dari pembakaran minyak pada tahun 2100. Tapi model-model ini tidak mengindahkan sesuatu yang penting, mereka tidak memasukkan dampak letupan dari gas hidrat yang memanas. Yang lebih parah, seperti yang ditemukan oleh Dewan Artik, kenaikan suhu udara tertinggi yang berasal dari emisi rumah kaca manusia akan terjadi di wilayah kutub-sebuah daerah yang kaya akan klatrat yang tidak stabil ini.
Bila kita memicu pelepasan gas Metana yang tak dapat dihentikan ini, kita tidak dapat memutarbaliknya. Tidak dapat diperbaiki. Sekali dimulai, ia kemungkinan akan berjalan terus.
Manusia kelihatannya mampu menghasilkan karbon dioksida dalam jumlah yang setara dengan aktivitas vulkanik yang lalu dapat memulai reaksi berantai ini. Menurut Survei Geologi AS, pembakaran bahan bakar fosil melepaskan karbon dioksida 150 kali lebih besar daripada yang dikeluarkan oleh gunung berapi-setara dengan tambahan sekitar 17.000 gunung berapi lain yang seukuran dengan Kilauea di Hawaii. 
Dan itu adalah bom waktu yang diabaikan oleh Dewan Arktik.
Seperti apakah jadinya kalau manusia dapat menyebabkan letupan gas metana dari pembakaran bahan bakar fosil? Tidak ada yang tahu. Tapi itu mungkin sekali pada saat ini, dan menjadi semakin mungkin dengan gagalnya kita bertindak dari tahun ke tahun.
Jadi lupakanlah naiknya permukaan laut, lapisan es yang mencair, badai yang semakin kuat, semakin banyak banjir, kehancuran habitat, dan kepunahan beruang kutub. Lupakan peringatan bahwa pemanasan global dapat mengubah beberapa daerah pertanian utama dunia menjadi padang pasir dan meningkatkan berbagai penyakit tropis, meskipun ini adalah hal-hal yang sangat kita yakini akan terjadi.
Kita tidak bisa membiarkan sinyal pertama gagalnya kebijakan energi akhirnya menyebabkan kepunahan masaal kehidupan di bumi. Kita harus bertindak sekarang.
John Atcheson, seorang ahli geologi, pernah menduduki berbagai posisi dalam hal kebijakan di beberapa badan federal pemerintah.
Selanjutnya...

Senin, 17 Agustus 2015

Kentut dan Sendawa Sapi Picu Ledakan di Peternakan Jerman



Gara-gara kentut dan sendawa sapi perah, sebuah peternakan di Hesse, Jerman meledak. Ledakan itu membuat atap kandang sapi rusak dan melukai 1 sapi lain.

Kentut dan sendawa sapi menghasilkan gas methane atau metana. "Gesekan listrik dengan gas tersebut memicu ledakan dan percikan api," demikian pernyataan kepolisian setempat seperti dilansir dari Huffington Post dan dimuat Liputan6.com, Rabu (29/1/2014).

Atap peternakan itu rusak, lanjut polisi, sementara satu sapi menjalani perawatan akibat luka bakar. Namun tak ada orang yang terluka dalam insiden tersebut.

Menurut media tersebut, gas methane yang dihasilkan kentut dan sendawa 90 sapi diduga biang keladi penyebab peternakan sapi perah Jerman itu meledak. Meski belum diketahui berapa pasti kuantitasnya. 

Hasil gas metana yang dihasilkan oleh sapi perah itu bervariasi. Beberapa ahli mengatakan sapi-sapi itu menghasilkan 100 hingga 200 liter gas methane per hari, sementara yang lain mengklaim sapi-sapi itu bisa menghasilkan 500 liter. Jumlah yang sebanding dengan polusi dari mobil dalam satu hari. Demikian dinyatakan oleh How Stuff Works.

Tahun lalu, ilmuwan Argentina mengumumkan bahwa mereka telah menemukan cara untuk mengubah gas yang diciptakan dari hasil gas pembuangan sapi menjadi bahan bakar. Mereka mengklaim inovasi itu bisa mengurangi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Namun hingga kini belum terdengar kabar kelanjutan penelitian tersebut.

Dilansir dari berbagai sumber, methane adalah hidrokarbon paling sederhana yang berbentuk gas dengan rumus kimia CH4. Gas yang murni tidak berbau, tapi jika digunakan untuk keperluan komersial, biasanya ditambahkan sedikit bau belerang untuk mendeteksi kebocoran yang mungkin terjadi.

Methane juga termasuk salah satu gas rumah kaca. Gas tersebut merupakan insulator yang efektif, mampu menangkap panas 20 kali lebih banyak bila dibandingkan karbondioksida. Methane dilepaskan selama produksi dan transportasi batu bara, gas alam, dan minyak bumi.

Methane juga dihasilkan dari pembusukan limbah organik di tempat pembuangan sampah (landfill), bahkan dapat keluarkan oleh hewan-hewan tertentu, terutama sapi, sebagai produk samping dari pencernaan. (Tnt/Ein)

Sumber: http://news.liputan6.com/read/812743/kentut-dan-sendawa-sapi-picu-ledakan-di-peternakan-jerman
Selanjutnya...

Tujuh Jurang di Lautan Siberia, Ancaman Besar Bagi Manusia

Peneliti Temukan Tujuh Jurang Mengerikan Baru di Lautan Siberia

ARKTIK – Para peneliti mengungkapkan telah menemukan tujuh jurang menganga di lautan Siberia, yang disebabkan oleh kantong metana yang meledak. Sehingga membuat lapisan permukaan es di laut Arktik tersebut mencair dan membentuk pola permukaan baru.
Kantong metana yang meledak menjadikan lapisan es mencair, dan itu dianggap para ilmuwan sebagai bahaya besar bagi lapisan Bumi lainnya. Mencairnya permukaan es pada laut Arktik bisa memberikan dampak permukaan laut yang semakin tinggi.
Metana diklaim para ilmuwan merupakan bom waktu yang bisa memberikan dampak yang sangat berbahaya. Pasalnya, kantong tersebut bisa memberikan pelepasan besar yang tiba-tiba dan hal tersebut merupakan hasil atau efek dari gas rumah kaca.
Peneliti juga mengungkapkan bahwa bila kantong metana yang memiliki muatan besar kembali terjadi, maka hal itu bisa disebut sebagai kiamat metana. Efek rumah kaca yang menimbulkan bom metan, bisa menjadikan pemanasan cepat Bumi.
Beberapa ilmuwan kini telah mengeluarkan peringatan mengenai bom metana tersebut, bahkan tim peneliti kini membentuk badan baru yang disebut Arktik Methane Darurat Group. Demikian seperti dilansir dari New Scientist, Rabu (27/5/2015).
Selanjutnya...

Rabu, 12 Agustus 2015

Pilih Daging atau Air?

Hasil gambar untuk meat

Pada saat tulisan ini dibuat di indonesia sedang mengalami kekeringan parah yang menyebabkan terjadi gagal panen dimana-mana dan membuat harga sayuran dan cabe menjadi meroket. Kekeringan tersebut disebabkan oleh El-Nino yaitu gejala penyimpangan pada suhu permukaan samudra pasifik di pantai barat Ekuator dan Peru yang lebih tinggi daripada rata-rata normalnya. Fenomena El-Nino menyebabkan curah hujan di sebagian besar wilayah indonesia berkurang, tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat tergantung dari intensitas El-Nino tersebut.

Dengan penurunan curah hujan secara otomatis akan menurunkan debit air sungai di indonesia yang menjadi sumber air bagi PDAM untuk menyuplai air kepada masyarakat di sekitar sungai tersebut. Jika debit air sungai turun sampai posisi tertentu maka air tersebut sudah tidak layak digunakan dan kotor.

El Nino pada dasarnya dipicu oleh pemanasan di wilayah Pasifik. Panas cenderung terkumpul di bagian barat karena faktor arah gerak Bumi. Kecenderungan panas terkumpul di satu titik memicu perbedaan panas antara bagian barat dan timur Pasifik, dalam hal ini wilayah Peru di Amerika Selatan dan utara Papua. Sederhananya, perbedaan panas yang terlalu besar akan memunculkan El Nino. Jika bicara lautan, hal ini berarti adanya air laut dari wilayah panas yang bergerak jauh ke wilayah yang lebih dingin.

Jika emisi gas rumah kaca tinggi, Pasifik akan semakin terpanaskan. "Semakin panas, maka akan semakin mudah El Nino terjadi," kata Edvin, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Anomalinya juga akan semakin besar.

Bila tak ada upaya untuk mengurangi emisi, maka seperti penelitian Wenju Cai dari CSIRO Marine and Atmospheric Research di Australia dan rekan yang dipublikasikan di jurnal Nature, El Nino akan semakin sering dan anomalinya terus meningkat.

Dalam laporan PBB (FAO) yang berjudul Livestock's Long Shadow: Enviromental Issues and Options (Dirilis bulan November 2006), PBB mencatat bahwa industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar (51%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). Emisi gas rumah kaca industri peternakan meliputi 9 % karbon dioksida, 37 % gas metana (efek pemanasannya 23 kali lebih kuat dari CO2), 65 % nitro oksida (efek pemanasan 296 kali lebih kuat dari CO2), serta 64 % amonia penyebab hujan asam. Peternakan menyita 30% dari seluruh permukaan tanah kering di Bumi dan 33% dari area tanah yang subur dijadikan ladang untuk menanam pakan ternak. Peternakan juga penyebab dari 80% penggundulan Hutan Amazon.

Memelihara ternak membutuhkan energi listrik untuk lampu-lampu dan peralatan pendukung peternakan, mulai dari penghangat ruangan, mesin pemotong, mesin pendingin untuk penyimpanan daging. Mesin pendingin merupakan mata rantai paling tidak efisien energi listrik. Hitung saja mesin pendingin mulai dari rumah jagal, distributor, pengecer, rumah makan, pasar hingga sampai pada konsumen. Mata rantai inefisiensi berikutnya adalah alat transportasi untuk mengangkut ternak, makanan ternak, sampai dengan elemen pendukung lain dalam peternakan intensif seperti obat-obatan, hormon dan vitamin.

Mata rantai lain yang sangat tidak efisien tapi telah berlaku demikian kronis adalah pemanfaatan hasil pertanian untuk peternakan. Dua pertiga lahan pertanian di muka Bumi ini digunakan untuk peternakan. Sebagai contoh, Eropa mengimpor 70% protein (kedelai, jagung dan gandum) dari pertanian untuk peternakan. Indonesia sendiri pada tahun 2006 mengimpor jagung untuk pakan ternak 1,77 juta ton. Prediksi produksi pakan ternak naik dari 7,2 juta ton menjadi 7,7 juta ton, kata Ketua Gabungan Perusahaan Pembibitan Unggas-Paulus Setiabudi (Kompas, 8 November 2007). Sementara itu, menurut data Indonesian Nutrition Network (INN), setengah dari penduduk Indonesia mengalami kelaparan tersembunyi (16 Sept 2005), sebagaimana yang dikemukakan oleh Menteri Kesehatan DR. dr. Fadillah Supari, SPJP(K).

Pertanian untuk pakan ternak itu sendiri merupakan penyumbang 9% CO2 (karbondioksida), 65% N2O (dinitrooksida) dan 37% CH4 (metana). Perlu diketahui efek rumah kaca N2O adalah 296 kali CO2, sedangkan CH4 adalah 25 kali CO2. Satu lagi masalah industri peternakan yang sangat krusial yakni, inefisiensi air. Sekian triliun galon air diperuntukkan untuk irigasinya saja. Sebagai gambaran sederhana, untuk mendapatkan satu kilogram daging sapi mulai dari pemeliharaan, pemberian pakan ternak, hingga penyembelihan seekor sapi membutuhkan satu juta liter air! Data yang dihimpun Lester R. Brown, Presiden Earth Policy Institute dan Worldwatch Institute, memaparkan dalam bukunya ”Plan B 3.0 Mobilizing to Save Civilization” (2008) bahwa karena untuk memproduksi satu ton biji-bijian membutuhkan seribu ton air, tidak heran bila 70% persediaan air di dunia digunakan untuk irigasi.

Kita menghabiskan 1200 galon air untuk menghasilkan satu porsi daging panggang, 330 galon untuk menghasilkan satu porsi ayam, tapi hanya memerlukan 98 galon untuk menghasilkan satu porsi makanan vegan yang berisi tahu, nasi dan sayuran. Diperkirakan bahwa produksi daging memerlukan 70% dari penggunaan air. Hal ini bahkan belum menyebutkan kerusakan dan kerugian ekonomis di seluruh dunia karena air yang tercemar oleh industri daging.

Jejak emisi gas rumah kaca daging terukur jelas. Dr Rajendra memberi ilustrasi konversi energi untuk memelihara sampai menghasilkan sepotong daging sapi, domba atau babi sama besar dengan energi yang dibutuhkan untuk menyalakan lampu 100 watt selama 3 minggu. Satu kilogram daging menyumbang 36,4 kg CO2, tidak heran bila data dari film dokumenter ”Meat The Truth” menyebutkan emisi CO2 seekor sapi selama setahun sama dengan mengendarai kendaraan sejauh 70.000 km. Penelitian di Belanda (www.partijvourdedie.en.el) mengungkapkan, seminggu sekali saja membebaskan piring makan dari daging masih 7,6 kali lebih cepat dibandingkan gerakan hemat energi skala rumah tangga dalam setahun.

Penelitian paling gres yang dilakukan Prof. Gidon Eshel dan Pamela A. Martin (”Diet, Energy and Global Warming”) merunut kontribusi setiap potongan daging terhadap emisi karbon. Penelitian ini diakui secara ilmiah dan dipublikasikan dalam jurnal bergengsi para ilmuwan Earth Interaction Vol. 10 (Maret 2006). Jumlah gas rumah kaca yang diemisikan oleh daging merah, ikan, unggas, susu dan telur jika dibandingkan dengan diet murni nabati/vegan, ternyata jika satu orang dalam setahun mau mengganti diet hewani mereka ke diet nabati murni/vegan akan mencegah emisi CO2 sebesar 1,5 ton. Lima puluh persen lebih efektif daripada upaya mengganti mobil Toyota Camry ke mobil Toyota Prius hybrid sekalipun yang ternyata hanya mampu mencegah 1 ton emisi CO2.

Objektivitas akan menuntun kita untuk mengakui pola konsumsi daging sebagai kontributor terbesar emisi gas rumah kaca. Pilihan kita tidak banyak, mengingat tenggat waktu yang demikian sempit. Mengutip tulisan Senator Queensland, Andrew Bartlett, bahwa seluruh dunia tidak mesti menjadi vegetarian atau vegan untuk menyelamatkan planet kita, tapi kita harus mengakui fakta-fakta ilmiah ini, bahwa jika kita tidak mengurangi konsumsi produk hewani, kesempatan kita untuk menghentikan perubahan iklim adalah nihil. Menurut Bartlett, tidak ada langkah yang lebih murah, lebih mudah dan lebih cepat untuk dilakukan yang dapat mengurangi kontribusi tiap individu terhadap emisi gas rumah kaca selain memangkas jumlah konsumsi daging dan produk susu dan olahannya.

Pilihan masing-masing ada ditangan kita sendiri, apakah kita tetap dengan pola makan daging yang akan menyebabkan krisis air di masa depan atau pola makan vegetarian yang dapat mengurangi pemanasan global sehingga ketersediaan air di masa depan lebih terjamin. Kita harus sadar bahwa apa yang ada di meja makan kita dapat menentukan masa depan planet bumi ini.

Sumber: http://www.pemanasanglobal.net/faq/apa-hubungan-pola-makan-daging-dengan-pemanasan-global.htm
Selanjutnya...

Minggu, 09 Agustus 2015

Jurus Baru Melumat Metana

KOMPAS.com - Pemanasan global akibat akumulasi gas-gas di atmosfer, di antaranya metana, menimbulkan efek lanjutan, yaitu perubahan iklim dan kondisi lingkungan bumi yang memburuk. Namun selama ini perhatian banyak dipusatkan untuk menekan gas karbon. Padahal, metana-lah yang menjadi penyebab terbesar pemanasan global. Maka, belakangan sasaran mulai diarahkan pada gas yang satu ini.
Sumber gas metana atau CH ada di mana-mana, bukan hanya dari rawa atau lahan basah. Gas metana juga bisa muncul akibat aktivitas manusia, mulai dari toilet di rumah tangga, lahan pertanian, dan peternakan, hingga tempat pembuangan sampah. Namun, penghasil metana paling menonjol adalah sektor pertanian dan peternakan.
Seperti dilaporkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2006, dari industri peternakan tercatat emisi gas penyebab efek rumah kaca paling dominan adalah metana (37 persen), sedangkan karbon dioksida (CO) hanya 9 persen. Masih menurut FAO, dalam lingkup global pun industri peternakan penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) tertinggi, yaitu 51 persen, bahkan melebihi emisi gas yang berasal dari sektor transportasi, yang hanya 13 persen.
Mulai bangkit
Volume metana yang melingkupi permukaan bumi mungkin belum seberapa. Di perut bumi dan dasar laut kutub utara terkubur 400 miliar ton gas ini, atau 3.000 kali volume yang ada di atmosfer. Namun, lambat laun gas dari permafrost ini mulai bangkit dari kuburnya akibat dieksploitasi untuk sumber energi. Selain itu, pencairan es juga terjadi di kutub karena pemanasan global.
Kondisi ini jelas memperburuk efek GRK karena potensi gas metana 25 kali lipat dibandingkan CO. Kalkulasi tersebut berdasar pada dampak yang ditimbulkannya selama seabad terakhir. Namun, penghitungan jumlah rata-rata metana dalam 20 tahun terakhir meningkat 72 kali lebih besar dibandingkan dengan CO.
Bila itu terjadi, ancaman kepunahan spesies di muka bumi akan membayang, seperti yang pernah terjadi pada masa Paleocene-Eocene Thermal Maximum (PETM) 55 juta tahun lalu dan pada akhir periode Permian sekitar 251 juta tahun lalu.
Lepasnya gas metana dalam jumlah besar mengakibatkan turunnya kandungan oksigen di muka bumi ini hingga mengakibatkan punahnya lebih dari 94 persen spesies di muka bumi.
Dr Kirk Smith, profesor kesehatan lingkungan global dari Universitas California, Amerika Serikat, mengingatkan adanya ancaman gas ini. Saat ini dunia memfokuskan strategi pada pengurangan emisi CO tetapi sedikit yang berkonsentrasi pada pengurangan emisi metana. Padahal, metana tergolong gas berbahaya, bukan hanya menimbulkan efek GRK yang nyata, melainkan juga membantu terbentuknya lapisan ozon di permukaan tanah yang membahayakan bagi kesehatan manusia.
Kandungan metana yang tinggi akan mengurangi konsentrasi oksigen di atmosfer. Jika kandungan oksigen di udara hingga di bawah 19,5 persen, akan mengakibatkan aspiksi atau hilangnya kesadaran makhluk hidup karena kekurangan asupan oksigen dalam tubuh. Meningkatnya metana juga meningkatkan risiko mudah terbakar dan meledak di udara. Reaksi metana dan oksigen akan menimbulkan CO dan air.
Pelumat metana
Upaya menekan emisi metana ke atmosfer belakangan mulai gencar dilakukan di negara yang memiliki lahan padi sawah terbesar, yaitu India dan China. Indonesia pun tak ketinggalan.
Salah satu caranya adalah dengan menerapkan sistem budidaya yang disebut dengan System of Rice Intensification (SRI). Pola budidaya padi tersebut bertujuan untuk mengurangi pemberian air pada lahan sawah. Karena diketahui, dengan kondisi air terbatas, produksi gas metana oleh mikroba anaerob berkurang.
Sistem bercocok tanam ini diperkenalkan pertama kali oleh misionaris dari Perancis, Henri de Laulanie, di Madagaskar tahun 1983. Pola bertanam padi ini lalu dikembangkan Prof Norman Ufhop dan akhirnya disebarkan ke Asia, seperti India, Pakistan, Sri Lanka, Banglades, China, Vietnam, dan Indonesia.
Pada SRI, dengan mengurangi air dan benih berkisar 40 sampai 80 persen, panen padi justru dapat meningkat 50 hingga 70 persen dibandingkan cara konvensional yang berkisar 4 hingga 5 ton per hektar. Kini, lebih dari 13.000 petani sudah menerapkan SRI pada lahan sekitar 9.000 hektar.
”Bila SRI diaplikasikan pada seluruh sawah di Indonesia yang luasnya 11 juta hektar, selain tercapai peningkatan produksi padi, emisi metana juga dapat diturunkan dalam jumlah sangat signifikan,” kata peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), I Made Sudiana.
Upaya menekan emisi metana dari lahan persawahan juga ditempuh Sudiana dengan mencari mikroba yang berperan dalam melepaskan metana ke atmosfer dan yang mengoksidasi metana. Di lahan persawahan konvensional yang tergenang air ditemukan mikroba metanogen yang anaerob atau bekerja dalam kondisi tanpa udara. Bakteri ini menghasilkan gas metana.
Emisi gas metana di sawah pada sistem SRI ternyata juga dihasilkan oleh bakteri metanogenik yang ada dalam usus cacing tanah (Aporrectodea caliginosaLumbricus rubellus, danOctolasion lacteum), yaitu saat cacing tanah membuat lubang untuk meningkatkan aerasi tanah sawah.
Dalam penelitiannya bersama peneliti dari Universitas Tokyo dan Otsuka di Sukabumi ditemukan, komunitas mikroba pesaingnya, yaitu metanotropik yang mengonsumsi atau mengoksidasi gas metana, menjadi metanol. Maka, untuk menekan emisi gas metana yang dihasilkan metanogen harus ditambahkan gipsum (CaSO. 2HO) yang dapat menstimulasi pertumbuhan metanotropik—kompetitornya.
”Dengan begitu, pertumbuhan mikroba metanogen tertekan,” kata Sudiana, yang meraih doktor bidang dinamika populasi mikroba dari Universitas Tokyo, Jepang.
Lebih lanjut di laboratorium milik Puslit Biologi LIPI di Cibinong, Sudiana berhasil mengisolasi tiga gen pada mikroba metanotropik. Isolasi berlangsung selama dua bulan. Inokulan yang ditemukan tahun lalu itu disebut Metrop 09 dan menjadi koleksi kultur lembaga riset ini.
Inokulan Metrop masih memerlukan pengujian stabilitas selama setahun ini untuk memastikan respons gen tidak berubah jika berada di lingkungan yang berbeda.
”Nantinya inokulan tersebut dapat dikembangbiakan dan diaplikasikan pada pupuk hayati sebagai mikroba konsorsium,” ujar Sudiana.
Dengan pupuk hayati plus itu, akan dihasilkan tanaman yang berproduktivitas tinggi, tetapi minim produksi metana.
Selanjutnya...

Sabtu, 08 Agustus 2015

Berapa banyakkah kontribusi dari mengurangi makan daging untuk pemanasan global?

Hasil gambar untuk daging

berdasarkan hasil dari penelitian yang dibiayai oleh universitas amsterdam untuk jejak karbon di amerika didapatkan hasil sebagai berikut:

- Jika semua penduduk amerika menjadi vegetarian selama 7 hari akan mengurangi 700 megaton gas rumah kaca atau sama dengan free cars di semua jalan di amerika selama 1 hari.

- Jika semua penduduk amerika menjadi vegetarian selama 6 hari hasilnya akan sama dengan earth hour (pemadaman listrik) di semua rumah di amerika selama 1 hari.

- Jika semua penduduk amerika menjadi vegetarian selama 5 hari hasilnya akan sama dengan menanam 13 miliar pohon dan membiarkannya tumbuh selama 10 tahun.

- Jika semua penduduk amerika menjadi vegetarian selama 4 hari hasilnya akan sama dengan mengurangi separuh dari penggunaan domestik di amerika untuk listrik, gas, minyak, bensin dan minyak tanah selama 1 hari.

- Jika semua penduduk amerika menjadi vegetarian selama 3 hari akan mengurangi 300 megaton gas rumah kaca.

- Jika semua penduduk amerika menjadi vegetarian selama 2 hari hasilnya akan sama dengan mengganti semua peralatan rumah tangga di amerika dengan yang hemat energi selama 1 hari.

- Jika semua penduduk amerika menjadi vegetarian selama 1 hari hasilnya akan sama dengan mengurangi 90 juta tiket pesawat dari new york ke los angelas.

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=2uTJsZrX2wI
Selanjutnya...

Daging ternyata Pemicu Global Warming & Penyakit. Kenapa??



Fakta di balik pola makan daging:

- Emisi karbon dioksida yg dihasilkan oleh sapi selama setahun setara dengan yang dihasilkan oleh kendaraan yang menempuh perjalanan sepanjang 70.000 km.

- Seorang vegetarian yang mengendarai kendaraan Hummer SUV lebih ramah lingkungan daripada pengkonsumsi daging yang naik sepeda.

- Di Amerika Selatan, untuk keperluan penyediaan makanan ternak dibutuhkan hasil panen tanah pertanian kedelai sekitar 400 juta hektar. Padahal untuk keperluan penduduk di seluruh dunia dibutuhkan hanya sekitar 25 juta hektar.

- Diperkirakan 50 miliar lebih ternak di permukaan Bumi menghasilkan kotoran yg mengandung nitrat oksida, amoniak, karbon dioksida, metana yg diekspos ke atmosfir setiap tahun.

- Dalam dekade ini, 90% kacang kedelai dunia digunakan untuk memberi makan hewan ternak.

- China, 10 tahun lalu dikenal sebagai eksportir utama kacang kedelai, sekarang menjadi pengimpor kacang kedelai terbesar No.2 di dunia. Penyebabnya adalah meningkatnya konsumsi daging di negeri ini sebesar 85% antara 1995 - 2001.

- PBB : 60 juta ton gas karbon dioksida berkaitan dengan bahan bakar fosil yang dihasilkan oleh industri global besar ini (industri daging).

Inefesiensi terjadi secara global dalam menekan angka kelaparan dunia. Bayangkan saja, misalnya, seekor sapi mengkonsumsi 7 pon protein dalam bentuk biji-bijian dan kacang kedelai dan menghasilkan hanya 1 pon protein daging. Riset Departemen Pertanian Amerika Serikat memberikan angka 16 kg biji-bijian untuk menghasilkan 1 kg daging sapi. Hasil riset lain USDA bekerjasama dengan FAO, WHO, dan UNICEF, mencatat dalam 0,46 hektar tanah pertanian, dihasilkan 138-356 pon protein kacang-kacangan dan biji-bijian, dan hanya 20-82 pon protein hewani.

Fakta tentang air :

- 1,2 milliar penduduk dunia saat ini hidup dengan air yang tidak layak minum.

- 70% air dunia digunakan untuk konsumsi ternak dan aktivitas pencucian di rumah jagal (dibutuhkan 3.500 galon air untuk memproduksi 1 pon daging, 60 galon air untuk memproduksi gandum dan 24 galon air untuk memproduksi 1 pon tomat).


Ternyata ada Fakta tentang Penyakit yang berhubungan dengan Daging:

1. Kebanyakan Hewan dibunuh secara Sadis dan Stress sebelumnya, sehingga mengeluarkan hormon Kortisol yang sangat beracun buat manusia yang memakannya.

2. Ada beberapa Daging yang Penyakitan (Penyakit Jantung, Stroke, Penyakit Gila, dll), namun oleh si penjual daging, mereka tidak memperdulikannya, yang terkena adalah yang mengkonsumsinya.

3. Semua Racun yang disimpan oleh hewan-hewan akan ditampung di lemak. Lemak inilah yang menjadi racun, namun Sangat nikmat..

4. Manusia sering "Memperkosa" hewan-hewan secara tidak wajar. Mereka mengutamakan Produktifitas. Ayam dipaksa untuk bertelur berkali-kali, Sapi susunya diperas secara terus menerus.

5. Pencernaan manusia adalah pencernaan hewan Herbivora (pemakan tumbuh-tumbuhan) karena berliku-liku usus kita, sedangkan pencernaan Carnivora ususnya lurus dan cepat pemrosesannya.

6. Mengkonsumi Daging sungguh berat buat pencernaan. Maka dari itu hewan-hewan karnivora akan menjadi lelah dan tidur sangat lama setelah makan daging. Begitu juga manusia, memerlukan energi ekstra untuk mencerna daging. 

Jadi.. Menjadi Vegetarian sebenarnya bukan hanya seorang Budhis yang mengharuskannya, namun, demi kesehatan kita dan juga menjaga Global Warming.
Selanjutnya...

Jumat, 07 Agustus 2015

Berbeda Dengan Tanaman Biofuel Lain, Tebu Mendinginkan Iklim



TEMPO InteraktifPalo Alto - Daun serta batang tebu yang panjang dan langsing seperti bambu yang ditanam di Brasil ternyata dapat merefleksikan cahaya matahari kembali ke antariksa serta menurunkan temperatur di sekelilingnya. Hampir seperempat dari konsumsi bahan bakar kendaraan di Brasil berasal dari tanaman tebu. Penggunaan biofuel itu mengurangi emisi karbon dioksida yang biasa dilepaskan kendaraan berbahan bakar bensin. 

Temuan studi baru ini mengklarifikasi temuan studi pada 2008, yang menyatakan proses produksi biofuel justru melepas lebih banyak gas rumah kaca, yang menjadi pemicu pemanasan global. Dua studi yang dipublikasikan dalam jurnal Science itu menyimpulkan bahwa konversi lahan untuk menanam jagung, tebu sebagai bahan baku bioetanol, atau sawit dan kedelai untuk biodiesel, melepas karbon antara 17 dan 420 kali lebih banyak jika dibanding jumlah karbon yang dihemat dari pergantian bahan bakar fosil. 

Kini para ilmuwan dari Department of Global Ecology, Carnegie Institution, di Palo Alto, Amerika Serikat, menemukan bahwa tanaman tebu mempunyai manfaat ganda. Perluasan kebun tebu di lahan yang sebelumnya ditanami tanaman pangan Brasil lainnya terbukti menyejukkan iklim lokal di sekitarnya. Tanaman itu tak hanya merefleksikan cahaya matahari kembali ke antariksa, tapi juga menurunkan temperatur udara sekitarnya ketika tebu "mengembuskan" air yang lebih dingin. 

Studi yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Climate Change itu adalah riset pertama yang mengukur efek langsung perluasan ladang tebu di lahan pertanian pangan dan padang rumput cerrado atau savana di Brasil Tengah terhadap iklim. Tim riset yang dipimpin Scott Loarie dari Carnegie Institution tersebut menggunakan data dari ratusan citra satelit yang mencakup lahan seluas 733 ribu mil persegi, sebuah kawasan yang lebih luas dibanding Negara Bagian Alaska. 

Mereka mengukur temperatur, reflektivitas, serta evapotranspirasi, atau hilangnya air dari tanah dan tanaman ketika mereka mengeluarkan uap air. "Kami menemukan bahwa pergeseran dari vegetasi alami menjadi lahan pertanian atau padang penggembalaan menghasilkan pemanasan lokal karena tanaman hanya melepaskan sedikit air yang bermanfaat," kata Loarie. "Tapi tanaman tebu yang mirip bambu jauh lebih reflektif dan memberikan jauh lebih banyak air, hampir sama dengan vegetasi alami." 

Penanaman tebu sebagai sumber bahan bakar hayati berpotensi memberikan solusi saling menguntungkan bagi iklim. "Menggunakan tebu untuk menghasilkan bahan bakar kendaraan mengurangi emisi karbon, sedangkan menanam tebu menurunkan temperatur udara setempat," ujarnya. 

Para ilmuwan menemukan bahwa konversi lahan dari vegetasi alami yang menjadi padang rumput atau tanaman pertanian rata-rata menaikkan temperatur di cerrado sebesar 1,55 derajat Celsius. Namun konversi selanjutnya yang menjadi perkebunan tebu justru menyejukkan udara di sekitarnya dengan menurunkan suhu 0,93 derajat Celsius.

Para ilmuwan menekankan bahwa efek yang menguntungkan ini hanya terlihat pada kebun tebu yang ditanam di lahan yang sebelumnya digunakan sebagai lahan pertanian atau padang rumput, bukan di daerah yang sebelumnya merupakan hutan atau vegetasi alami. 

Selama ini perdebatan tentang efek ekosistem pada iklim hanya mempersoalkan dampak emisi gas rumah kaca. "Sekarang makin jelas bahwa efek langsung iklim terhadap iklim setempat yang berasal dari penggunaan lahan cukup signifikan sehingga harus dipertimbangkan sebagai elemen inti perubahan iklim akibat kegiatan manusia," kata Gregory Asner dari Department of Global Ecology, Carnegie Institution. 

TJANDRA DEWI | SCIENCEDAILY 


Sumber : http://tekno.tempo.co/read/news/2011/04/25/095330023/berbeda-dengan-tanaman-biofuel-lain-tebu-mendinginkan-iklim
Selanjutnya...