KOMPAS.com - Pemanasan global akibat akumulasi gas-gas di atmosfer, di antaranya metana, menimbulkan efek lanjutan, yaitu perubahan iklim dan kondisi lingkungan bumi yang memburuk. Namun selama ini perhatian banyak dipusatkan untuk menekan gas karbon. Padahal, metana-lah yang menjadi penyebab terbesar pemanasan global. Maka, belakangan sasaran mulai diarahkan pada gas yang satu ini.
Sumber gas metana atau CH ada di mana-mana, bukan hanya dari rawa atau lahan basah. Gas metana juga bisa muncul akibat aktivitas manusia, mulai dari toilet di rumah tangga, lahan pertanian, dan peternakan, hingga tempat pembuangan sampah. Namun, penghasil metana paling menonjol adalah sektor pertanian dan peternakan.
Seperti dilaporkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) tahun 2006, dari industri peternakan tercatat emisi gas penyebab efek rumah kaca paling dominan adalah metana (37 persen), sedangkan karbon dioksida (CO) hanya 9 persen. Masih menurut FAO, dalam lingkup global pun industri peternakan penyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) tertinggi, yaitu 51 persen, bahkan melebihi emisi gas yang berasal dari sektor transportasi, yang hanya 13 persen.
Mulai bangkit
Volume metana yang melingkupi permukaan bumi mungkin belum seberapa. Di perut bumi dan dasar laut kutub utara terkubur 400 miliar ton gas ini, atau 3.000 kali volume yang ada di atmosfer. Namun, lambat laun gas dari permafrost ini mulai bangkit dari kuburnya akibat dieksploitasi untuk sumber energi. Selain itu, pencairan es juga terjadi di kutub karena pemanasan global.
Kondisi ini jelas memperburuk efek GRK karena potensi gas metana 25 kali lipat dibandingkan CO. Kalkulasi tersebut berdasar pada dampak yang ditimbulkannya selama seabad terakhir. Namun, penghitungan jumlah rata-rata metana dalam 20 tahun terakhir meningkat 72 kali lebih besar dibandingkan dengan CO.
Bila itu terjadi, ancaman kepunahan spesies di muka bumi akan membayang, seperti yang pernah terjadi pada masa Paleocene-Eocene Thermal Maximum (PETM) 55 juta tahun lalu dan pada akhir periode Permian sekitar 251 juta tahun lalu.
Lepasnya gas metana dalam jumlah besar mengakibatkan turunnya kandungan oksigen di muka bumi ini hingga mengakibatkan punahnya lebih dari 94 persen spesies di muka bumi.
Dr Kirk Smith, profesor kesehatan lingkungan global dari Universitas California, Amerika Serikat, mengingatkan adanya ancaman gas ini. Saat ini dunia memfokuskan strategi pada pengurangan emisi CO tetapi sedikit yang berkonsentrasi pada pengurangan emisi metana. Padahal, metana tergolong gas berbahaya, bukan hanya menimbulkan efek GRK yang nyata, melainkan juga membantu terbentuknya lapisan ozon di permukaan tanah yang membahayakan bagi kesehatan manusia.
Kandungan metana yang tinggi akan mengurangi konsentrasi oksigen di atmosfer. Jika kandungan oksigen di udara hingga di bawah 19,5 persen, akan mengakibatkan aspiksi atau hilangnya kesadaran makhluk hidup karena kekurangan asupan oksigen dalam tubuh. Meningkatnya metana juga meningkatkan risiko mudah terbakar dan meledak di udara. Reaksi metana dan oksigen akan menimbulkan CO dan air.
Pelumat metana
Upaya menekan emisi metana ke atmosfer belakangan mulai gencar dilakukan di negara yang memiliki lahan padi sawah terbesar, yaitu India dan China. Indonesia pun tak ketinggalan.
Salah satu caranya adalah dengan menerapkan sistem budidaya yang disebut dengan System of Rice Intensification (SRI). Pola budidaya padi tersebut bertujuan untuk mengurangi pemberian air pada lahan sawah. Karena diketahui, dengan kondisi air terbatas, produksi gas metana oleh mikroba anaerob berkurang.
Sistem bercocok tanam ini diperkenalkan pertama kali oleh misionaris dari Perancis, Henri de Laulanie, di Madagaskar tahun 1983. Pola bertanam padi ini lalu dikembangkan Prof Norman Ufhop dan akhirnya disebarkan ke Asia, seperti India, Pakistan, Sri Lanka, Banglades, China, Vietnam, dan Indonesia.
Pada SRI, dengan mengurangi air dan benih berkisar 40 sampai 80 persen, panen padi justru dapat meningkat 50 hingga 70 persen dibandingkan cara konvensional yang berkisar 4 hingga 5 ton per hektar. Kini, lebih dari 13.000 petani sudah menerapkan SRI pada lahan sekitar 9.000 hektar.
”Bila SRI diaplikasikan pada seluruh sawah di Indonesia yang luasnya 11 juta hektar, selain tercapai peningkatan produksi padi, emisi metana juga dapat diturunkan dalam jumlah sangat signifikan,” kata peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), I Made Sudiana.
Upaya menekan emisi metana dari lahan persawahan juga ditempuh Sudiana dengan mencari mikroba yang berperan dalam melepaskan metana ke atmosfer dan yang mengoksidasi metana. Di lahan persawahan konvensional yang tergenang air ditemukan mikroba metanogen yang anaerob atau bekerja dalam kondisi tanpa udara. Bakteri ini menghasilkan gas metana.
Emisi gas metana di sawah pada sistem SRI ternyata juga dihasilkan oleh bakteri metanogenik yang ada dalam usus cacing tanah (Aporrectodea caliginosa, Lumbricus rubellus, danOctolasion lacteum), yaitu saat cacing tanah membuat lubang untuk meningkatkan aerasi tanah sawah.
Dalam penelitiannya bersama peneliti dari Universitas Tokyo dan Otsuka di Sukabumi ditemukan, komunitas mikroba pesaingnya, yaitu metanotropik yang mengonsumsi atau mengoksidasi gas metana, menjadi metanol. Maka, untuk menekan emisi gas metana yang dihasilkan metanogen harus ditambahkan gipsum (CaSO. 2HO) yang dapat menstimulasi pertumbuhan metanotropik—kompetitornya.
”Dengan begitu, pertumbuhan mikroba metanogen tertekan,” kata Sudiana, yang meraih doktor bidang dinamika populasi mikroba dari Universitas Tokyo, Jepang.
Lebih lanjut di laboratorium milik Puslit Biologi LIPI di Cibinong, Sudiana berhasil mengisolasi tiga gen pada mikroba metanotropik. Isolasi berlangsung selama dua bulan. Inokulan yang ditemukan tahun lalu itu disebut Metrop 09 dan menjadi koleksi kultur lembaga riset ini.
Inokulan Metrop masih memerlukan pengujian stabilitas selama setahun ini untuk memastikan respons gen tidak berubah jika berada di lingkungan yang berbeda.
”Nantinya inokulan tersebut dapat dikembangbiakan dan diaplikasikan pada pupuk hayati sebagai mikroba konsorsium,” ujar Sudiana.
Dengan pupuk hayati plus itu, akan dihasilkan tanaman yang berproduktivitas tinggi, tetapi minim produksi metana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar